Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok, Gus Dur dan Jokowi: Sebuah Kepemimpinan

27 Juni 2016   09:14 Diperbarui: 27 Juni 2016   12:38 3122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komentar yang datang secara umum berbicara satu nama itu adalah kontroversial. Almarhum Gus Dur dulu, juga banyak dinilai kontroversial. Nama terakhir sebagai presiden ketujuh sama sekali tidak pernah dinilai sebagai kontroversial. Steven R. Covey menyatakan orang yang akan berpindah dalam sebuah budaya baru biasanya akan mendapatkan penolakan. Tidak berbeda dengan Antony de Mello, seorang spiritualis Katolik namun suka alam Hindu dan Budha, juga Muslim mengatakan orang yang belum “bangun” susah untuk diajak berpindah. Itu yang dinilai oleh orang yang “belum bangun” atau enggan pindah budaya sebagai kontroversi.

Ahok.

Nama yang sama tenarnya antara prestasi dan “kontroversi”. Identik sebenarnya dengan presiden keempat, namun zaman dan arus keterbukaan membuat akhir yang berbeda. Bagaimana Ahok hidup dalam alam politik yang penuh intrik namun ada perimbangan kekuatan dari arus media, termasuk media sosial. Kekuatan baru yang belum dimiliki oleh era almarhum Gus Dur didera oleh kelompoknya dan kadang jadi rival  yang tidak main-main.

Ahok penuh perhitungan meskipun terkesan sembrono, kasar, dan seenaknya, itu bagi orang yang masih belum mengerti politik yang mendalam. Ia menggunakan momentum yang orang lain justru tidak berani memikirkannya, apalagi mengeksekusi sebagai sebuah keputusan. Soal penataan Kota Jakarta itu sangat tidak mudah, kalau berpikir untuk memuaskan semua pihak, ia tidak akan berajak. Namun ia sebagai pemimpin memilih untuk bersikap sesuai konstitusi.

Pilihan bukan takut pada konstituen, namun pada konstitusi membuatnya bisa melakukan banyak hal. Laporan demi laporan ke bareskrim, ke KPK, BPK, dan penyediaan rompi orange tidak membuatnya gentar, malah lembaga itu yang “bertikai” sendiri. Keberanian tidak populer menjadi tembok yang membuatnya masih bertahan.

Keberanian “melawan” arogansi dan kasarnya parpol. (yang gak suka jangan jawab kog gak berani lewat independen daripada malu). Parpol yang telah ia prediksi main-main dipermainkan dengan lahirnya TA. Dan ketika TA sukses, parpol pun mendekat, jangan dikira parpol akan dengan gampang dan tidak menelikung kalau Ahok tidak punya sejuta dukungan (meskipun diverifikasi, paling tidak setengahnya masih cukuplah).

Jokowi

Model yang jauh berbeda dengan dua nama ini, selain lahir dna besar dari budaya Solo dan Jawa Tengah yang kental, ia lebih memilih jalur yang lebih lembut, dialog, tidak suka gaduh, dan tenang. Soal tegas jangan tanya, cuma tidak di depan layar. Tidak heran bagi barisan sakit hati lahir tidak maju-maju karena bagi-bagi kursi, boneka, petugas partai, dan tersandera kepentingan.

Tegas, jelas contohnya dalam mengajukan Tito sebagai calon tunggal dari kelanjutan memilih Bardodin dari pada Budi G kala itu. Ini kelanjutan memilih memangkas subsidi BBM. Jelas pilihan berlawanan denga parpol penguasa dan keingin sebagian rakyat. Kini naik turun harga BBM tidak lagi jadi soal.

Tarik ulur soal kabinet, apa akan seperti membalik telapak tangan menghadapi parpol rakus, tamak, dan tidak punya etika itu? Sama sekali tidak mudah. Kompromibukan pada hal yang mendasar dan esensial.Sama juga mengenai papa minta saham, pilihan yang sebagian pihak dianggap lemah, namun malah berhasil demi tujuan yang jauh lebih besar. Ini sering lepas dari pengamatan orang dan dicap sebagai lembek.

Gus Dur

Dasar sebagai seorang spiritualis dan humanis berkubang pada politik yang lepas etika, akhir tragis yang mendera. Bapak bangsa yang pluralis, Pancasilais, dan agamis, namun memasuki kancah politik pada masa yang tidak tepat. Bagaimana kala itu banyak kepentingan yang “dompleng dan sembunyi.” Seperti ular yang mengamat-amati dan akan mencari saat lemah dan lengah.

Ada Amin Rais,sebagai lambang tokoh reformasi dan “merasa” paling pantas sebagai presiden. Kehendak alam dan rakyat ternyata berbeda. Ia hanya menjadi ketua MPR dan kemudian menjungkalkan Gus Dur yang ia angkat sendiri. Megawati sebagai simbolisasi tertindas, dan pemenang pemilu, jelas saja merasa itu adalah haknya sebagai presiden, bukan untuk “abangnya.” Tidak heran ia pun setuju saja diajak oleh lembaga sebelah untuk menurunkan presiden dan menaikkannya jadi penggantinya.  Kepentingan demi kepentingan di sana.

Gus Dur lupa sebagai pemimpin bangsa besar yang mengalami eforia baru lepas dari cengkeraman tiran. Kepentingan demi kepentingan dan bisa dimanfaatkan setiap celah. Ia tidak memperhatikan gerbong yang ia bawa sangat besar dan itu bisa menjadi “bencana” dan “kecelakaan”. Bukan dalam artia ia abai, namun karena memang bukan seorang politikus. Negarawan yang berpikir pokoknya demi kebaikan bagi bangsa dan negara.

Ketiganya berani mengambil apa yang tidak pernah dipikirkan apalagi diputuskan oleh orang lain. Sikap yang mengedepankan demi bangsa dan negara. Rakyat yang merasakan dan itu bisa menjadi gangguan bagi elit.

Berani tidak populer. Mengapa banyak orang tidak bisa memutuskan dengan cepat? Masalah citra diri, pengin menyenangkan semua pihak yang jelas saja tidak mungkin selama di dunia, dan tidak berani dihujat meskipun membela kebenaran dan kesejahteraan umum.

Perhitungan dan sikap itu dpengaruhi kepribadian, budaya, dan gaya hidup di mana ia menghabiskan waktu. Masing-masing memiliki gaya dan cara masing-masing.  Satu kesamaan mereka memikirkan bangsa dan negaranya, bukan soal elitnya, yang cenderung korup dan tamak.

Kita patut bersyukur memiliki pemimpin yang mau kerja keras, berpikir berbeda, dan mau serta berani menanggung risiko. Soal label itu kontroversi atau prestasi adalah sudut pandang penilaian, yang lepas dari pribadi pemimpin itu sendiri.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun