Tito, yang Muda yang Berkarya
Zaman berubah, urut kacang tidak selalu baik dan benar, itu hanya salah satu sarana untuk menerapkan prinsip keadilan. Salah satu berarti masih ada alternatif lain. Presiden Jokowi ternyata memilih ini, bukan selalu saja bergilir, urut, dan pola ajeg yang selalu baik. Membaca pola ini sebenarnya telah lama. Panglima TNI yang “jatahnya” angkatan udara, ternyata tidak dengan pola itu yang presiden pakai.
Tito di antara komjend polisi yang lain
Dari ketujuh komjend yang ada, memang dia paling yunior. Kita bisa belajar sikap kepemimpinan tokoh muda ini. pertama, sikap yang patut dan baik diperlihatkan ketika dengan halus menolak tawaran presiden melalui kapolri. Ini bukan sebuah bentuk takut senioritas, namun sebentuk penghormatan dan sikap baik seorang pemimpin. Kedua, Kapolri mengubah pendekatan dan memberikan perintah, bukan permintaan. Jawaban seorang bhayangkara negara adalah iya. Lagi sebentuk kebaikan pemimpin dihadirkan. Rendah hati dan sekaligus bertanggung jawab, bukan arogan dan haus kuasa sebagaimana dipertontonkan elit lain. Ketiga,sowankepada senior, ini bukan sebuah bentuk takut, namun segan dan hormat kepada kakak-kakak, jiwa asrama itu tetap tidak bisa hilang. Meskipun kekerasan, intimidasi di arama tidak mungkin tidak, toh ketika telah bekarya semua hilang. Di antara ketujuhnya paling “bersih” kepentingan dan bisa menjembatani semuanya dalam pandangan presiden tentu ada di Komjend Tito, dan sikap itu benar sudah dilakukan. Klop berarti penilaian presiden dan perilaku sang calon.
Tito dan Jokowi
Kaitan ini menjadi penting di mana presiden itu termasuk kalangan generasi yang jauh lebih muda, bekerjama dengan “penatuan” yang sudah berbeda konsep dan pemikiran. Lihat bagaimana pola pikir Pak Jusuf K yang sering berbeda dan berseberangan. Beberapa waktu lalu Pak Ramizard juga membuat “ulah” yang berbeda dengan pola pikir muda Pak Jokowi. Manarik dengan banyak muda yang memimpin negeri ini, ada Pak Ridwal Kamil, Pak Ahok, Pak Yoyok, Bu Risma, dan banyak lagi tokoh muda yang menggerakan bangsa ini. Tambah satu dengan kehadiran di kepolisian dengan jiwa Pak Tito. Barisan muda mengganti barisan sakit hati.
Tito dan Polri
Polisi kali ini memilii tim yang solid, tepat guna, dan bisa bergerak cepat. Masalah mendesak yang presiden ingin selesaikan adalah soal terorisme, maling, dan narkoba. Ketiga hal ini ada di tangan yang tepat, di mana BNN telah dipegang Komjend Budi W yang tegas dan lugas. Bagaimana Fredi yang mau berkelit akan kematiannya dengan mengirim lagi narkoba, tetap tidak akan diajukan ke pengadilan lagi, artinya mati karena memang sudah siap di depan regu tembak. Usaha dengan menambah dosa urusannya dengan Tuhan bukan aparat hukum di dunia. Narkoba di tangan yang tepat.
Soal terorisme, memang tangan dingin Tito di ranah terorisme tidak perlu diragukan lagi. Bagaimana Noordin M Top, Azhari, yang diekspor Malaysia dan jadi komoditi yang membanggakan di sini, habis di tangan Tito, tidak perlu diragukan lagi. Satu PR besar di Poso saja yang masih belum usai, namun dengan posisi nomor satu di pucuk pimpinn bisa mengawasi secara menyeluruh kinerja di bawahnya, mana yang kurang pas, mana yang memang telah bekerja, dan di mana ada lobang bisa segera diselesaikan. Di atas jauh lebih luas apa yang mau dibuat, semua ada di dalam kendalinya. Berarti harapan ke depan yang jauh lebih aman soal terorisme.
Maling, polisi korup dan main-main dengan suap dan sejenisnya. Rekening gendut dan semacamnya. Main mata dalam banyak hal, perseteruan dengan KPK. Harapan besar bisa terselesaikan dengan keberaniannya menyelesaikan kasus Sitorus seorang bintara maha kaya raya. Berani menangkap Tomy putera presiden Soeharto yang kebal hukum, catatan yang bisa menjadi harapan polisi yang makin baik di kemudian hari.
Harapan ke depan