Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenang 10 Tahun Gempa Yogya dalam Sepenggal Kisah

27 Mei 2016   14:27 Diperbarui: 27 Mei 2016   19:15 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS | Heru Sri Kumoro

Sepuluh tahun gempa Yogya yang begitu mengguncang. Belum lama dari tsunami Aceh sehingga isu gempa dan tsunami di Yogya pun bisa terjadi. kala itu, saya masuk pada kelompok sukarelawan yang bekerja sesudah kejadian utama, dalam arti setelah beberapa hari. Pemulihan dan penanganan yang masih begitu parah, barang bantuan melimpah, namun perlu juga kebijakan sehingga benar-benar bisa sampai kepada korban.

Kami, bergaung dalam karya sosial di bawah Karina Caritas KAS, di bawah naungan Karina Indonesia sebagai sebuah yayasan kemanusiaan berdiri sejak 1996. Posko utama ada di Gereja Katolik Wedi, Klaten, Jawa-Tengah. Bantuan yang kami salurkan dan hendak disalurkan salah satunya dari Vatikan sebagai bentuk kepeduliaan kepada umatnya secara langsung. Hal ini bukan berkaitan dengan sektarian namun mengapa hanya umat sendiri? Lebih aman kan langsung ke umat sendiri dari pada ribet dengan kecurigaan tidak penting, ini juga masuk dalam salah satu kisah lucu yang asli kami jumpai.

Tugas kami ada tiga, yaitu survei bagaimana tingkat kerusakan yang akan dilaporkan ke atasan, bagaimana kerusakan itu ada tiga, parah, sedang, dan ringan. Kelompok yang mendirikan tenda, dan ketiga dapur umum.

Kelucuan di balik kepiluan.

Ada Beberapa Hal Lucu di Balik Puing-Puing yang Begitu Luas

Ada sekelompok orang dengan atribut parpol yang memperkeruh suasana, teman-teman dari gereja setempat sudah hapal mereka ini di mana-mana begitu. Pas ngaso setelah dari jalan ke keluarga korban, kelompok ini kembali mengeluarkan jurusnya, soal Kristenisasi, “Awas kalian dijadikan kresten lho,” mereka terbahak dan dijawab dengan bahasa Jawa, “Wacanen lho,  tulisan neng mobil kae, Karina ki artine yayasan Katolik, yo ben aku dadi kresten.”  Lihat di mobil itu tulisannya Karina yang artinya yayasan Katolik, ya biar kami jadi kresten. Kelucuan yang tidak menjadi panas karena mereka malu dan ngeloyor diiring tawa rekan-rekan yang tidak simpatik dengan cara mereka. Kemanusiaan yang dipolitisir, dan itu menjadi penyegar justru.

Pas di jalan kami masih kikuk bagaimana bersikap dengan rekan yang sekaligus korban itu. Malah mereka mencairkan dengan guyonan yang sangat menghibur dan untuk mengatasi capek, kekauan, dan ada hiburan. Seorang teman mengatakan, di sekitar bekas rumahnya masih bau bangkai. Dalam benak kami itu ada korban yang belum terevakuasi, eh ternyata bangkai bebek sejumlah 400 ekor yang tertimbung puing-puing kampung mereka.

Ada rekan pas ngecek kondisi rumah itu masuk kategori A, B, atau C, dengan menepuk-nepuk dinding seperti tuan rumah, eh ketika rekan ini yang menepuk langsung robah, untung dia besar dan bapak tuan rumah kecil, langsung saja ia saut dan dibawa lari ke luar rumah dan tidak ada korban. Teman ini yang trauma, kamar mandi darurat di posko digebrak saja langsung pucat pasi.

Miris dan Kekuasaan Tuhan itu Nyata

Kami sempat mau menghantar bantuan tenda ke perbatasan Kab. Klaten dengan Kab. Gunung Kidul, bisa dibayangkan, jalanan mendaki terus dengan jalan dan sawah itu seperti teras sering seperti sawah di Bali. Jalan bertingkat dan mobil tanpa bangku itu harus menerabas itu semua.

Saat bertanya rumah umat yang akan diberi tenda, akan dengan pasti di jawab, dengan petunjuk yang semuanya telah hancur, misalnya itu yang rumahnya hijau pas di pojok jalan. Mana pojok sudah tidak tampak lagi karena penuh puing, belum lagi mana ada rumah hijau, karena semua hancur dan hanya puing di sepanjang mata memandang, selain satu dua yang masih berdiri dengan goyang dan somplak di mana-mana.

Benar-benar yang harusnya di bawah, genteng, bata yang dari tanah itu, kembali ke asalnya. Hampir tidak ada genteng yang di atas, semua ada di tanah, kembali ke asalnya.

Pengalaman yang Mengesan

Pelaksanaan bantuan kelompok kami memang sudah tidak dekat dengan kejadian, jadi anak-anak sekolah sudah mulai kembali ke sekolah. Melihat anak-anak pulang sekolah dengan berjalan kaki, di benak kami itu, mereka mau pulang ke mana? Tenda? Apakah itu benar-benar bentuk pulang sekolah?

Berbagi, salah satu keluarga yang kami bantu tenda, kami juga membawa mie instan, kue kalengan, dan tenda sebagai yang utama. Membangun tenda tidak lama, dan apa yang terjadi? keluarga itu telah merontoki pohok kelapanya yang tinggal satu, memasak mie instan yang kami bawa, dan membuka kue-kue itu. Kami sungguh terharu, mau makan tidak kolu,tidak tega, kalau tidak kami makan malah membuang apa yang terbatas itu. Pohon kelapa yang tinggal satu itu pun dirontoki dan dibuka untuk kami.

Rekan-rekan sukarelawan itu banyak juga yang sekaligus korban. Mereka mengatakan belum sempat pulang ke “rumah” mereka. Yang jelas bahwa keluarganya memang tidak ada yang menjadi korban dalam arti luka parah, di rumah sakit, ataupun meninggal. Soal rumah jelas saja tidak lagi terbentuk.

Setiap pagi masih diadakan misa di gedung gereja yang juga parah. Setiap kali lonceng dibunyikan, teng..greeeek.....teng...... greeeek...dinding gereja yang berderak. Mengalami misa di tengah gedung yang bisa roboh sewaktu-waktu.  Ternyata itu sudah sepuluh tahun. Pengalaman yang masih lekat.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun