Beberapa pekan lalu presiden membuat gebrakan ekstrem bahwa harga yang biasanya naik enjelang bulan Puasa dan Lebaran, tahun ini harus turun. Kemarin presiden juga geram mengapa harga daging bisa sangat mahal, menjadi salah satu paling mahal di dunia. Respons pasar malah melonjak naik, bukan hanya merangkak. Menteri berkait, menyatakan stok cukup bahkan lebih, bukan hanya soal daging lho. Kecurigaan paling besar adalah permainan mafia dan kartel yang terganggu akan kebiasaannya main-main dengan harga.
Pertama sikap permisif dan toleran sebagai pembenar kenaikan harga. Ah setahun sekali saja gak apa-apa naik. Toh Lebaran tidak setiap saat. Kita bisa melihat dalam banyak hal model begini, anak-anak sekolah dasar mulai merokok dengan dalih demikian juga, “boleh” nanti usai Lebaran juga tidak. Hal ini dimanfaatkan orang-orang yang tidak memiliki etik soal berusaha, yang penting banyak untung, ada kesempatan juga. Lihat bagaimana ugal-ugalannya naik tarif angkutan juga.
Kedua, soal daging, dulu kala Pas Komjend Budi Waseso jadi kabareskrim mengulik mafia daging ditemukan sekian penimbun sapi yang memang tidak dipotong, padahal pasar perlu pasokan, mana khabar itu semua? Juga soal garam, negara dengan garis pantai yang masuk terpanjang di dunia eh malah impor, di mana-mana ditemukan permainan garam ini. itu semua senyap karena kabareskrim dipindahkan ke BNN, di BNN semua kejahatan narkoba terkuak, dari tentara, dewan, bupati ada yang ditangkap tangan. Prestasi yang malah tenggelam.
Ketiga, Kapolri mendekati pensiun, mau memperpanjang dipertanyakan karena memang gebrakan pak Jend. Badrodin kurang moncer dan menonjol. Sebaiknya diistirahatkan sesuai dengan UU saja dan ada kog anak buahnya sebagai pengganti yang lebih progresif, mantap, dan jelas terukur kinerjanya.
Keempat, ini sudah darurat, tidak beda dengan narkoba, berikan pemimpin yang bisa menggebrak dengan cara keras, tegas, dan langsung pada sasaran bukan lagi wacana dan ide-ide. Kapolri jelas lebih strategis karena toh masih “atasan” BNN meskipun secara tidak langsung paling tidak bisa menjadi pengawas untuk penggantinya agar tetap cepat. Di bareskrim jelas saja menjadi pengawasannya secara langsung yang masih bisa memonitor termasuk kasus demi kasus mafia.
Kelima, gerak cepat yang membuat gaduh waktu lalu, kini berbeda. Dukungan politik presiden sudah jauh lebih kuat dan obyektif. PDI-P dan pihak wapres sudah bisa “dikendalikan dengan adanya “klik” orang kepercayaan presiden sehingga kinerjanya bisa cepat, lugas, dan tidak ambil peduli. Soal gaduh yang lalu bisa dikesampingkan, nyatanya di BNN tidak ada yang terganggu.
Keenam, kontroversi soal kekayaan pribadi Pak Budi W mau tidak mau masih bisa diterima dari pada Pak Budi G yang sudah pernah menyandang noda “tersangka” dari KPK, meskipun hanya sejenak. Usia pun sedikit lebih panjang Pak Budi W.
Ketujuh, persoalan harga, kala BPS, kementrian terkait mengatakan harga harusnya tidak naik, namun kenyataannya naik, berarti distribusi yang amburadul dan ngawur karena ada persoalan di sana. Di sana perlu ada intervensi dari pemerintah termasuk polisi untuk mengusut siapa yang bermain di sana.
Pedagang dan pengusaha memang dasarnya mencari untung, itu sah dan benar tidak ada yang salah. Keuntungan yang wajar dan tidak seenaknya sendiri dengan membebani konsumen tentunya. Batas kewajaran dan kepantasan itu pada ranah moral bukan ranah ekonomi. Dan ranah moral ini telah lepas karena budaya maling di mana-mana, suap, ekonomi beaya tinggi karena permainan birokrasi yang ada.
Pemerintah harus hadir dan memilah mana pengusaha jahat dengan salah satu ciri hanya berorientasi untung yang sangat besar dan mana pengusaha yang wajar-wahjar saja. Sebenarnya di Indonesia ini masih banyak orang baik, namun terlalu baik sehingga diam saja dan tidak bertindak adanya pengusaha dan penguasa jahat.
Birokrasi buruk dan busuk mau dibenahi, perda-perda yang konflik kepentingan mau dibersihkan, dan itu perlu waktu dan dukungan penuh dari semua pihak. Di satu sisi rakyat senang, namun yaang terusik dan terpangkas kesempatannya untuk berbuat sewenang-wenang meradang dan mengambil jalan konfrontasi untuk kembali eksis dan mengembalikan keadaan kacau lagi.
Pembiaran selama ini menyengsarakan rakyat. Diperlukan ketegasan tanpa kompromi, tidak takut tidak populer, dan masuk pada tindakan-tindakan “gila” karena merusak tatanan yang telah terskema dan dirancang dengan kebusukan selama ini. keberanian itu perlu banyak orang dan dukungan karena perlawanan juga tidak ringan dan kecil.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H