Gerindra berpotensi besar akan mengusung Letjend. (Purn.) Sjafrie Sjamsoedin, sebagai cagub andalan mereka. Jika benar demikian, dia merupakan sosok setara dengan gubernur lampau, di mana Letjend. Soetiyoso, seorang bintang tiga yang menjabat gubernur. Era Pak Harto, bintang dua sebagai jabatan gubernur. Setara juga dengan Pak Yusril yang menjabat setingkat menteri mau jadi gubernur. Sjafrie adalah wakil menteri di era Pak Beye.
Siapa Sjafrie? Ia adalah Panglima Kodam Jaya, masa “kerusuhan” ’98. Menurut desas desus ia adalah salah satu orang kepercayaan ketum Gerindra Prabowo. Salah satu kelompok Prabowo yang masih eksis di militer masa reformasi. Wajar karena memang posisinya yang masih yunior, dibandingkan petinggi Angkata Darat lainnya kala itu. Meskipun lebih menjadi tentara kertas, dalam artian lebih banyak di kalangan administrasi dan tidak pernah di teritorial apalagi membawahi pasukan secara langsung, namun perannya di dalam pemerintahan Pak Beye merupakan hal yang sangat baik bagi kelompok yang memang ada “rivalitas” yang memuncak pada masa ’98. “Pemecatan” Prabowo membawanya pelan namun pasti masuk kotak dan tidak lagi tampil sebagai serang tentara di mana tentunya cinta-citanya adalah menjadi panglima minimala teritorial kalau tidak bisa pasukan. Apalagi menjadi kepala staf AD apalagi lebih jauh jadi panglima TNI.
Keuntungan mengajukan sosok yang satu ini bagi Gerindra adalah:
Satu, ia orang terdekat bagi ketum Gerindra, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Jika sukses di Jakarta, tidak heran nantinya Prabowo bisa denga cepat mempersiapkan diri untuk 2019. Menguasai Jakarta dengan seluruh dinamikanya tentu sangat membantu bagi ketenaran Prabowo dan Gerindra. Bukan tidak mungkin 2019 sudah berani bertarung lagi dengan dukungan DKI di dalam penguasaan penuh.
Kedua,dendam atas Ahok terlampiaskan, soal dendam ini jangan dengan mudah dikatakan tidak ada. Lumayanlah untuk bisa bersaing dengan Ahok bintang tiga, wakil menteri, dan yang bisa diandalkan lagi soal penguasaan Jakarta secara intelijen tetap masih memiliki, meskipun bukan terbaru, namun masih bisa diolah dengan bantuan rekan-rekannya.
Ketiga,agak sulit dinalar, namun bisa saja, menarik kembali dukungan militer kepada kebijakan pemerintah yang sekarang. Gubernur susah kalau militer mengatakan ogah mendukung pengamanan saat penertiban.
Keempat, “rivalitas” Pak Wiranto dan Pak Prabowo, bisa terjadi melalui kepanjangan tangan masing-masing. Sejak awal Hanura telah memilih untuk menyokong Ahok, sebagai representasi Pak Wiranto. Pak Prabowo melalui Gerindra mendukung Pak Sjafrie.
Kelima, Demokrat kelihatannya tidak keberatan dengan calon yang satu ini, bagaimana Pak Beye memberikan ruang bagi militer yang satu ini. Bisa lebih realistis bagi Deokrat daripada mendukung calon sendiri dan calon lain.
Keenam,kampanye sampingan dengan mengedepankan hubungan dengan Makruf Sjamsoedin yang “berjasa” mengungkap papa minta saham. Ingat bangsa ini masih mengidap budaya gumunan dan sangat lekat dengan kebiasaan itu. Hal ini sangat membantu. Dia adalah kakak dari “pahlawan FP Indonesia” itu.
Beberapa hal yang bisa menjadi catatan adalah
Pada “kasus” ’98, peran Pak Sjafrie cukup signifikan. Memang secara hukum tidak ada jerat yang menjadi bebannya, namun melihat karir yang cemerlang dan langsung meredup itu bisa dikatakan ada “apa-apanya” di sana. Penguasa tertinggi di Jakarta, kerusuhan demi kerusuhan terjadi dan tidak ada tindakan apapun darinya selaku panglima, meskipun di bawah pangab dan KSAD, toh memiliki kewenangan sebagai pangdam Jaya. Kasus Trisakti, penculikan, kerusuhan etnis, pembakaran dan penjarahan, ada di muka dia. Hal ini sasaran empuk bagi “lawan” untuk mengemas. Bagaimana Gerindra dan rekan mau mengolah isu panas ini. kalau bicara soal hukum dan jeratan yang tidak ada, hanya akan menjadi catatan berkelanjutan. Sama sekali tidak efektif, kekhawatiran soal “daya” mengamankan Jakarta bisa dipertanyakan.