Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Boedi Oetomo, Berpolitik Praktis dan Deparpolisasi di Kekinian

20 Mei 2016   06:57 Diperbarui: 20 Mei 2016   08:29 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Boedi Oetomo. Sumber historyofbudiutomo.blogspot.com

Ulang tahun ke 108, Budi Utomo, warna belajar berpolitik praktis sebagai basis perjuangannya malah memudar. Kala itu, berorganisasi, berserikat, berkumpul, dan apalagi berpolitik praktis seolah berkat luar biasa. 

Di tengah gempuran perpecahan yang diciptakan penjajah, namun para muda anak bangsa memiliki trik cerdas untuk tetap dapat mengumpulkan kaum terdidik dan memiliki visi ke depan untuk bisa menganimasi bangsanya yang masih bersikap sendika dhawuh pada penjajah. 

Persoalan dari kepemimpinan yang tumpas kelor, pimpinan menyerah, kalah juga perjuangan semuanya, kerajaan-kerajaan kecil yang memang disokong Belanda untuk merongrong   persatuan dan kesatuan yang berpotensi mengusir mereka sendiri, hendak dijawab dengan perjuangan Budi Utomo.

Kabarmu kini, di usia 108, bagaimanakah perjuangan itu?

Dubes rasis, tentu kita masih ingat bagaimana beberapa waktu lalu, dari tanah negeri orang, seorang duta bangsa memberikan kritikan bagi seorang pimpinan daerah dengan nada rasis. Tentu bahwa hal itu sangat tidak elok, di tengah perkembangan bangsa dan dunia yang makin menuju kesatuan dengan membangun persamaan ini malah mencoba menawarkan membesarkan perbedaan.

Pimpinan dewan eh maling, baru kali ini ada pimpinan dewan terjungkal karena sangkaan mencatut nama pejabat tinggi negara. Meskipun tidak ada tindak lanjut, toh sudah terbukti dengan turunya kelas dia menjadi pimpinan kelompoknya sendiri. Ini hanya salah satu persoalan yang dihadapi dewan yang tidak pernah bertumbuh ini, soal maling, korup, tidak hadir sidang, dan hasil nol besar target sendiri tentu membuat miris pejuang diplomasi kala itu.

Petinggi lembaga negara satu demi satu terungkap langgar etika,era keterbukaan merupakan kemudahan dan memang bagian utuh yang tidak bisa ditolak. Terang dan transparan menjadi salah satu cirinya. Siapa yang suka dengan remang-remang dan gelap gulita, tentu akan tergilas oleh zaman, apa yang dipilih? Lebih baik berbuat jujur dan apa adanya. 

Bagaimana blunder demi blunder oleh aparat tertinggi negeri ini, DPD rebutan kursi, petinggi MA yang main kasus, pimpinan BPK yang salah bersikap, yang harusnya profesional eh malah bersikap politis, dan banyak lagi.

Deparpolisasi, sikap parpol yang mengejar kekuasaan dan abai akan etis membuat banyak pihak lebih memilih jalur independen. Sikap reaktif bukan introspektif lebih menguar, sikap menohok, melawan, dan menyatakan bahwa bangsa ini diperjuangkan oleh parpol, maka parpol tidak boleh dideparpolisasi, parpol dulu tidak mbelgedes, beda dengan sekarang. Bagaimana kaderisasi tidak jalan, membeli dan kutu loncat, kader maling lebih banyak, dan bopeng parpol memang jauh lebih banyak, untuk saat ini.

Sektarian, seagama beda aliran sudah saling hujat dan buat rubuh tempat ibadah, dan rusuh, lha bagaimana dengan yang berbeda, maka sikap keras dan hujat sangat biasa. Sesuku, sedaerah, se...se....lainnya yang luar biasa lebih menggejala. Kesatuan hanya kala mendapatkan permusuhan yang identik, misalnya, kalau Malaysia melakukan tindakan sepihak, nasionalisme baru lahir.

Sikap bagaimana yang bisa dilakukan?

Satu, bangga akan Keindonesiaan,menerima keadaan bangsa yang sedang prihatin, namun yakin menuju kepada kebaikan. Dengan itu timbul sikap optimis dan berharap akan ada perubahan yang signifikan bagi bangsa dan negara.

Kedua, lebih mencintai produk dalam negeri, daripada import, kawasan yang demikian luas, hanya untuk kopi saja yang tidak akan mati kalau tidak mengonsumsi mengapa harus import dan bangga kalau minum kopi dari negara X, negara Y, dan sebagainya. Bagaimana ngamuk-ngamuk dengan tenaga kerja asing, namun diri sendiri memakai komoditi asing dengan bangga.

Ketiga, menghormati pemimpin, kesalahan itu perlu dikritik bukan dihujat, namun juga bukan bahwa pemimpin itu pasti benar, kalau demikian kritis itu tidak ada. Bagaimana kita tidak menghormati pemimpin kita, bangsa lain mau respek dengan kita.

Keempat, sikap kebenaran yang hakiki, kebenaran selama ini berdasar kekuasaan dan keakuan, belum bisa melihat kebenaran seperti universal. Contoh maling ayam pasti semua akan menghajar dan menghakimi dengan bogem mentah, namun korupsi kerah putih, ada yang membela dan menyatakan bahwa itu konspirasi, karena cobaan dari Tuhan. 

Beda, cobaan dari Tuhan itu sudah kerja keras eh kena gempa dan harus mengulangi lagi pekerjaan itu, bukan karena maling bangunan roboh. Jelas-jelas merongrong negara, masih ada yang membela itu sebagai perjuangan, lihat banyak contoh dari itu.

Kelima, ini Indonesia, dibangun di atas Pancasila,bukan negara sektarian keagamaan, kesukuan, dan segala macam yang hendak ditonjolkan sebagian pihak. Negara ini telah capek-capek dengan pengorbanan darah dan keringat pendahulu, mengapa harus diciderai dengan pola mundur yang sangat merugikan?

Harapan itu makin nyata dan ada titik cerah yang bisa diyakini bangsa ini benar-benar bangkit dari keterpurukan selama ini. semangat kesatuan dan kebersamaan sebagai salah satu sarana mendapatkan itu.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun