DPD Golkar DKI: Kami Terbuka Ke Ahok, Bukti Parpol Indonesia Tergantung Ketum
Tidak lama, orientasi parpol di Indonesia bisa berubah. Perubahannya bukan hanya sedikit bergeser, namun drastis dan seratus delapan puluh derajad. Paling parah dipertontonkan Golkar, pilpres belum lama, masih sengit pula persaingannya, namun sudah berbalik badan dan tanpa mengucapkan maaf sama sekali, baik ke pemerintah yang dulu mereka cela, apalagi sahabat mereka KMP.
Jajaran di bawahnya mengikuti, dulu beberapa bulan lalu, mereka telah menutup pintu untuk Ahok dan menggalang dukungan parpol lain untuk menggalang kekuatan untuk menghalangi Ahok naik ke DKI-1. Baru kemarin ketum baru dipilih, hari ini telah membuka pintu bahw Ahok masuk radar bersama, Ganjar, Risma, dan lain-lain.
Parpol itu milik ketum bukan milik konstituen.Mungkin ini harapan berlebihan di era demokrasi akal-akalan ala politikus Indonesia. Konstituen hanya diingat dua hingga tiga kali, pemilu legeslatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah, setelah itu, sama sekali tidak ada di benak parpol. Sudah diwakilkan ke parpol termasuk kesejahteraan, suara, dan semua hal,kecuali derita,ya tetap ditanggung sendiri. Minimal lah bukan milik rakyat, yo mbok masih mikir paling tidak milik pengurus. Lebih ari satu kepala, tentu jauh lebih hidup, dinamis, dan bijaksana dalam banyak hal. Kuasa ketum luar biasa besar hingga bisa memutarbalikkan dunia. Maka tidak heran ketum merupakan jabatan prestisius dan mahal.
Politik itu mahal.Pengkaderan bisa kalah dengan uang. Idealnya berangkat dari paling bawah, soal nama bisa berbeda-beda, tingkat desa/kelurahan dan terus berjenjang sebagai sarana belajar, namun semua itu bisa dipangkas dengan uang yang tidak berseri. Tidak mengagetkan dari bukan siapa-siapa bisa langsung menjadi pejabat teras karena “membeli.” Sangat bisa dimengerti kader terbaik karena tidak memiliki uang tersingkir dan menjadi penonton saja. Demikian pula di pimpinan daerah, bisa dagelan muncul, hanya karena uang dan populer bisa diusung jadi pimda, ingat kasus Pasha yang marah karena ditertawakan. Pengalaman berpolitik dan birokrasi nol langsung naik begitu, pasti kalau ditertawakan.
Kader kalah dengan uang. Kader itu sebagai sarana militansi akan ideologi, sarana belajar untuk kalah dan menang, belajar berdemokrasi, belajar memimpin, belajar berorganisasi, berdebat sehat, dan banyak hal. Uang memangkas itu semua, wajar parpol tidak ada yang berani kalah dan ndompleng kekuasaan demi atm. Kaderisasi mengajarkan kalah dan menang itu biasa. Sering ada pemilihan ini itu,, diskusi dan debat, di sanalah kualitas itu diasah. Pengurus yang membeli bisa memangkas proses itu semua dan adanya adalah kehebohan dan maaf kebodohan yang telanjang di depan mata.
Tidak ada ideologi, yang ada ketum. Ideologi tampaknya masih slogan dan lebih memilih figur. Sosok itupun bisa siapa saja, bukan seorang hebat, seperti Sukarno, Lee Kwan Yu, atau Mahatma Gandi. Malingpun kalau bisa beli pengurus bisa duduk di kursi empuk. Mau ideologi atau sosok mumpuni bagaimana kalau kantor saja banyak yang tidak punya. Kantor itu menjadi gambaran konkret bagaimana pelaku demokrasi dari parpol bisa berdiskusi, berdialog, berdebat, dan menghasilkan kader-kader berkualitas.
Mau tahu “ideologi” partai, lihat saja ketumnya.Benar bahwa pribadi itu mewarnai seperti apa organisasi akan hidup dan berdinamika, namun tentu konyol jika hanya tergantu pimpinan saja. Partai modern tentu berkaitan dengan sistem bukan orang. Celaka lah kalau partai masih tergantu pada ketuanya, lha apa bedanya dengan masa Boedi Oetomo kalau demikian. ternyata belum bernajak jauh, pimpinan diasingkan, bubar pula organisasinya, sayang banget perjuangan kala itu kalau demikian.
Mendesak untukperubahan yang signifikan agar membaik demokrasi di Indonesia. Satu, penyederhanaan partai politik.Parpol di Indonesia terlalu banyak namun bukan memperbaiki keadaan malah membuat kisruh. Tanpa adanya ideologi yang jelas mau diusung selain kepentingan sesaat dan kuasa semata. Kedua, menciptakan mekanisme politik murah,pemangkasan jumlah parpol sedikit banyak membantu karena tidak ada lagi perebutan suara dan kader terbaik. Ketiga, pemmbatasan pindah parpol,dibuat undang-undang pindah keluar masuk partai harus ada etika dan kepantasan.
Bagaimana pagi di partai A sore di partai B, dan esok di partai C, lha apa bedanya dengan abg yang mudah sekali jatuh cinta. Boleh pindah namun dengan alasan jelas, nyata, dan ada batasan waktu. Keempat, kader yang maling, jangan diterima di partai lain, pertimbangannya karena mereka tidak berkualitas, namun menjadi aset lagi di tempat lain, ini kan ironis, bagaimana bejibun orang baik tersingkir karena miskin dan dikalahkan maling yang menyuap. Kelima, mendesak adanya pendidikan parpol modern,salah satu ciri partai modern adalah sistem bukan orang per orang. Memalukan salah satu negara demokrasi sebesar ini malah mengelola pilar demokrasinya secara kuno seperti ini.
Tidak salah bahwa ketum itu warna sebuah parpol, namun tentunya jauh lebih pantas adalah ideologi yang dipelihara dan dijual. Saatnya bebenah dan berubah dan bukan waktu untuk berulah atas nama partai lagi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H