Sang presiden PSSI terganjal persoalan hukum di kejati Jawa Timur. Jurus andalan langsung dipakai, ngacir ke luar negeri. Telisik intelijen menyatakan ia ada di Malaysia dan bergeser ke Singapura. Mengapa bisa kabur, soal lain. Menarik adalah usainya ia ada di negeri jiran, petinggi negeri ini baru bak kebakaran jenggot. Lagi dan lagi septik tank diaduk-aduk. Aroma tidak sedap menguar ke mana-mana.
Soal kebocoran data, soal perjanjian ekstradisi, soal tetek bengek, dan ujung-ujungnya mengapa tidak bisa balik. Ini bukan yang pertama, ribuan kasus yang terjadi. terbaru tentu yang baru saja bisa dijemput, Gayus, Nazar, Nunun, bupati Temanggung, dan kasus demi kasus yang menguap begitu saja. Singapura atau luar negeri menjadi lorong maut bagi penegakan hukum Indonesia. Paling panas juga pernyataan pak wapres yang menyatakan Singapura enggan tanda tangan. Tidak pakai lama, balasan dari sana menyatakan, justru dari kubu Indonesia, yang diam saja.
Menarik melihat tarik ulur siapa untung siapa rugi dari perjanjian ini. Singapura yang ada pada posisi “untung” mengambil celah dengan menggabungkan perjanjian ini dengan soal kerja sama pertahanan. Mengapa negeri Singa berbuat demikian?
Pertama, mereka mendapatkan banyak dana baik investasi ataupun pengunjung wisatawan meskipun tidak jujur. Bisa saja berdalih belum ada peradilan yang usai, mereka masih bisa dinilai tidak sebagai pelaku kejahatan. Dan ini tidak sedikit. Meskipun tidak juga seburuk itu tentunya.
Kedua, mereka jarang memiliki pelanggar hukum baik teroris apalagi koruptor alias maling yang akan lari ke Indonesia. Mereka bisa merasa tidak ada keuntungan dengan perjanjian ini, hanya sepihak manfaatnya, berbeda jika ada perjanjian lain yang dikaitkan dengan itu.
Ketiga, mereka tentu tidak mau dikatakan menjadi surga cuci uang dan buron, sepanjang belum ada ketok palu, mereka masih bisa menyatakan itu investor kami dan tidak melanggar di tempat kami. Dan tentunya buron ini akan taat hukum di sana. Maling di sini di sana aman. Sangat wajar dan sering terjadi.
Singapura menyatakan bahwa implementasi ada di DPR-RI yang lambat, bukan mereka. Penandatanganan justru masa Pak JK berduet dengan Pak Beye, walah lamanya. Sekarang jika sudah ada di dewan, mengapa mandeg. Tidak berlebihan jika melihat rekam jejak maling yang sekaligus anggota dewan biasanya lari ke sana. Beberapa hal yang bisa menjadi alasan “malas”nya implementasi yang penting ialah:
Satu,Singapura nyaman untuk lari dan sembunyi. Alasan budaya, dekat, dan bahasa Inggris pas-pasan pun bisa. Konsolidasi dengan pengacara, kolega yang mau menutupi, dan jaringan yang bisa mengatur langkah-langkah tentu jauh lebih hemat. Juga kedatangan dan kepulangan keluarga, mengurangi kecurigaan selain dana.
Kedua, dewan tidak mau tempat yang bisa untuk ndheselitu malah ditutup sendiri. Lihat saja soal UU pembuktian terbalik, pemiskinan maling anggaran, atau hukuman mati maling berdasi mana mau mereka dengar. Naga-naganya hal ini juga mirip.
Indonesia yang Lebih Butuh.Tidak bisa dipungkiri kriminal bangsa ini, dengan berbagai latar belakang jauh lebih banyak dan lari ke sana. Maling apapun ndesel di sana, bukan maling sandal atau sumbangan masjid tentunya. Maling anggaran, rampok APBD/N, mafia demi mafia ke sana. Singapura, sepanjang ingatan baru satu buron teroris kalau tidak salah. Tentu sangat jomplang dan Indonesia perlu pendekatan diplomasi yang lebih intens.
Pelabuhan tikus dan perairan terbuka yang langsung berbatasan dengan Singapura, atau darat melalui Malaysia juga tidak susah bagi kelompok berduit untuk menyiasatinya. Hilang bak ditelan rimba para maling ini. Dan kembali tim demi tim dibentuk, satgas demi satgas dibuat, (kecuali satgasnya Deny yang penuh berkat, dengan berdoa, Gayus datang dan makan semeja eh se restoran dengan mereka) hanya menjadi pajangan surat keputusan negara tanpa hasil.
Celah hukum dan kebocoran surat dari peradilan di Indonesia juga perlu dibenahi, hangan hanya mengandalkan perjanjian ekstradisi jika merugikan. Mengandalkan diri sendiri lebih dulu, jangan menunggu kebaikan Singapura. Masih bisa mengatasi dengan cara yang lain. Selalu terulang, sehari sebelum surat dikirim, lari duluan, ini jelas saja bocor, bukan salah Singapura bukan?
Momentum itu harus digunakan sebaik-baiknya. Kemauan baik harus dibangun, lihat bagaimana pengalaman demi pengalaman, pelecehan oleh negara tetangga, itu melecut bangsa ini, tidak perlu merengek dan hukum ditegakkan dengan baik.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H