Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Apa dengan Lembaga Tinggi Negara? Dari BPK hingga MK, dari MA hingga Kura-kura

30 April 2016   19:27 Diperbarui: 30 April 2016   19:49 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aduuh, pedih rasanya mendengar, membaca, dan menyaksikan pemberitaan mengenai lembaga tinggi negara. Kapan mendengar itu prestasi, berita ide cemerlang bagi bangsa dan negara, apalagi level dunia.

Satu demi satu membuat kisah masing-masing yang menambah panjang kemaluan bangsa ini. Tidak pernah sepi membuat sensasi pedih bagi ibu pertiwi.

KPK, sudah agak reda meskipun harus melalui badai demi badai. Kriminalisasi hingga politisasi seolah tiada berakhir mendera komisi anti korupsi itu. Kini agak mereda meskipun soal pelemahan demi pelemahan tetap saja menjadi agenda di balik layar tetap ada. Keadaan masih aman dan relatif baik.

DPR, waduh mau omong apa, target sendiri saja amburadul. Dalih demi dalih dikemukakan. Ide untuk diri sendiri tidak pernah surut. Perebutan kursi pimpinan, pimpinan yang abal-abal pola pikirnya, belum lagi sikap anggota yang sama sekali tidak disiplin, daftar hadir yang terisi rendah, namun gaji tetap saja jalan. Sama sekali tidak ada harapan dari Si Kura-Kura Hijau ini.

DPD, saudara muda DPR ini, sama saja setali  tiga uang, mau dibubarkan bukannya bebenah, eh malah berkelahi, ujung-ujungnya kekuasaan semata. Muara dari kursi, yo jelas uang. Waduh persoalan daerah itu banyak, bukannya mengurangi benang kusut, eh malah membuat tambah kusut.

BPK, ini bukan soal Ahok, jadi jangan sensi. Apa yang mau saya ambil soal alamat perusahaan sang ketua yang memakai Gedung Kura-Kura untuk perusahaannya di luar negeri. Ini obyektif dan tidak akan ada yang sensi. Soal SW bisa ramai. Lha bagaimana kalau lembaga pemeriksa saja diketuai pimpinan model demikian. Membantah namun ketika terdesak membantah dan membentak pas ditanya. Apa pantes? Memprihatinkan, kejujuran masih mahal, apalagi mau mundur.

MK, waduh, sempat babak belur adanya pemakaian surat palsu (eh yang mendapatkan manfaat masih ayem tenterem di sebelah), membawa korban satu hakim. Bebenah dan menjadi baik, kemudian tiba-tiba jagad peradilan geger dengan adanya tangkap tangan sang ketua, dan diketahuilah sekian banyak kasus yang bisa diperjualbelikan seperti mendoan saja di MK itu. Kali ini, kembali bangsa dihenyakkan dengan kasus sang ketua titip familinya ke kejaksaan agung. Hukuman etik teguran lisan ringan, karena tidak ada nilai negatif. Lha kalau nitip famili bukan negatif mengapa ditegur? Titip, jelas saja menghianati reformasi, beda jika yang dititipkan itu orang yang tidak dikenal namun cerdas, tidak mampu, dan sangat potensial. Lha ini famili.

MA,beberapa hakim memberikan pencerahan dan harapan tegaknya hukum di Indonesia, namun bahwa mereka secara institusi masih banyak kekurangan iya. Belum lagi kemarin baru saja ketahuan adanya main mata antara petinggi MA ditengarai soal mempermainkan pasal dan hukuman.

Lembaga yang lain sama saja dan setali tiga uang. Tidak banyak berbuat atau malah nyaris tak terdengar. Sekalinya terdengar ujung-ujungnya uang dan masalah, kembali bukan prestasi. Apakah ini   pesimis dan negatif saja? Saya menilai ini  realistis keadaan negara yang harus jujur diakui sehingga ada perbaikan. Jika mengatakan baik-baik saja, ya jangan heran akan selalu buruk dan busuk.

Apa dasarnya kejadian demikian masif?

Pelaku atau pejabat itu bukan negarawan, namun pencari kerja.Sikap tamak dan selalu mencari untung membuat mereka melompat-lompat, dari dewan ke lembaga lain. Apa akibatnya, kadang tidak profesional, bahkan ada yang tidak mampu pun bisa duduk di sana. Jika negarawan itu sudah usai dan tidak lagi mencari uang yang utama.

Pengabdian, uang itu konsekuensi  dan bonus. Akan dengan sendirinya mendapatkan, bukan fokus utama mencari uang. Dengan demikian tidak takut kehilangan jabatan dan bahkan nyawanya demi pengabdian itu. Tidak populer pun dilakukan asal demi kebaikan bagi bangsa dan negara. Hal ini masih jauh dari harapan karena  masih beroreintasi pada uang dan jabatan.

Sikap pemimpin, pemimpin itu akan membawa diri sebagai teladan, malu kalau melakukan kesalahan sekecil apapun, selama ini hal tersebut sangat rendah dan lebih banyak yang berjiwa kerdil dan malah kalah dengan maaf budak. Menjalankan apapun asal sesuai prosedur, minimalis, dan sebatas melakukan tugas. Tidak heran mereka tidak malu maling, menggunakan sarana kerja sebagai fasilitas pribadi.

Dewan pemilih,suka atau tidak, perlu disadari bersama bahwa selama ini DPR yang membuat semua kekisruhan ini. spau kotor mau dipakai membersihkan, ya mau tidak mau, seperti ini hasilnya. Parpol sebagai induk dewan saja kacau balau, mau mengelola lembaga-lembaga lain yang mereka lahirkan.

Lembaga kacau,terlalu banyak pelaku politik yang masuk ke ranah profesional, seperti BPK, MA, Kejagung, kemampuan teknis mereka tidak bisa dicemari oleh penyelesaian politis yang sering kompromistis. Tentu bukan anti parpol, karena tetap ada orang parpol yang bisa bersih dan obyektif. Namun terlalu banyak yang tidak.

Sebaiknya bagaimana?

Kurangi peran DPR selama mereka masih levelnya segitu-gitu saja. Hingga bisa membuktikan minimal daftar hadirnya lebih baik saja, cukup untuk mempercayai mereka. Selama ini produk mereka lebih banyak amburadulnya daripada baiknya.

Ada pembatasan, antar jabatan dari lembaga satu ke lembaga lain ada jeda waktu. Lha ini lucu bin ajaib, tahun  ini di DPR bulan depan pindah ke MA, periode nanti ke kejagung, lha mau apa negara ini?

Kurangi pelaku politik prakktis yang mau masuk ke lembaga-lembaga teknis. Biarkan pelaku profesional yang ada di sana. Sekali lagi bukan anti parpol namun hasil mereka selama ini sangat memprihatinkan, masih ada yang jual beli demi kursi.

Harapan perlu digelorakan. Perubahan itu sangat mendesak, terutama dimulai dari atas. Pasti bisa dan ada keinginan untuk berubah.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun