Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kartini, Jika Engkau Saksikan Sinetron ini, Bagaimana Rasamu?

22 April 2016   09:43 Diperbarui: 22 April 2016   14:15 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="R.A. Kartini. Sumber: Wikimedia"][/caption]Entah bagaimana perasaan R.A Kartini jika menyaksikan sinetron remaja penuh ibu-ibu yang seperti ini. Satu sisi sangat bangga tentunya bahwa perempuan sudah bisa sejajar, pendidikan, karir, apapun sudah bisa dilakukan baik pria ataupun perempuan. Namun apakah tidak menarik ketika tokoh yang dimainkan dalam Anak Jalanan itu ibu-ibu yang hanya olok-olok?

1. Ibu muda, yang meninggalkan pacarnya demi harta seorang bapak yang memang seusia bapaknya. Memusuhi anak tirinya, yang seusia, dan dikatakan merebut kebahagiaannya, karena mantannya itu, sekarang menjadi pacar anak tirinya. 

Matrialistis, culas, dan penuhi tipu muslihat. Mengatasnamakan kasih sayang ibu ke anak, namun mencari keuntungan sendiri. Bisa membalikkan kejahatan sebagai kebaikan, dan orang yang menjadi korban perilakunya malah dikatakan sebagai pelaku. Obyek dan subyek bisa berbalik di tangan orang atau tokoh ini.

2. Ibu dari ibu muda, selayaknya iblis, sumber masalah dari dia. Ide dan skenario apapun berasal dari diri ibu ini mata duitan, ide-ide jahat bermunculan, memusuhi cucu tirinya, menekan menantunya dan anaknya demi uang dan materi. 

Anaknya seolah dijual asal dapat uang banyak. Benar dan salah bisa dibalik dengan mudah. Anak kecil pun, anaknya sendiri diajak untuk bermufakat jahat.

3. Ibu direktur, namun sikapnya kekanak-kanakan, sering diberi wejangan oleh anak lelakinya yang bak malaikat. Narsis, memuji diri sendiri, menekan suami demi kepuasan sendiri. 

Menggunakan segala cara untuk mendapatkan keinginannya, memaksakan kehendak demi kesenangannya, termasuk untuk anaknya. Pasangan hanya menjadi pajangan dan korban bullynya.

4. Ibu rumah tangga yang kaya akan tanah karena warisan, main tipu, sekongkol jahat dan sangat benci dengan ibu pacar anaknya. Main teriak dan bentak, jarang menunjukkan sisi keibuan yang sepantasnya. 

Hadir dalam kisah lebih dominan membawa keriuhan soal tanah, dan anak yang bandel saja. Mendidik dengan mengeluh dan memaki.

5. Ibu calon pengusaha, mau mendirikan cafe, namun menggunakan cara yang buruk (memang ditipu pacar anaknya), namun dia bisa berdamai dan baik dengan pacar anaknya karena ada kemauan, menginginkan sewa tanah dari ibu pacar anaknya. 

Sering bertikai dengan anaknya dan dikibuli anak dan pacar anaknya. Tidak beranjak jauh dari model cerita ini.

6. Ibu pengusaha butik, salah satu ibu baik yang ada, di mana ia mengalah demi kebahagiaan anaknya, ibu yang perhatian terhadap anak dan rekan-rekan anaknya. Hanya satu ini yang lumayan baik, bandingkan dengan kelima ibu di atas. Gambaran hitam dan putih yang khas cerita kita.

Hiburan memang diciptakan untuk menghibur, namun apakah hiburan juga lepas dari nilai pendidikan? Tentu saja tidak bukan? 

Media dengan hiburannya tentu memberikan pengajaran yang baik baik remaja. Belum lagi segmen yang disasar adalah anak muda awal yang masih sering mencari jati diri. Apa yang mau dicapai dengan model keteladanan seperti di atas?

Sinetron satu ini telah berulang-ulang diulas, ditulis, dan ada juga laporan ke KPI, namun sama saja, masih melenggang dengan keanehan yang makin jelas dan lugas.

Unsur hiburan, ketawa-tawa tanpa isi, bolehlah, namun apakah hal itu saja yang mau dipelajari bangsa ini? Apakah cukup kegiatan dan ritual keagamaan itu untuk menutupi kejahatan yang amat sangat di dalamnya? Tentunya tidak bukan. Pembelajaran menuju masyarakat dewasa dan kritis membutuhkan lebih jauh lagi cerita yang faktual, relevan, dan realistis.

Drama memang menarik ketika pro dan kontra itu dibangun dengan keterpisahan yang sangat jelas. Apakah mengeksplorasi yang amat jahat dan amat baik itu realistis? 

Kisah nyata sehari-hari banyak dan bisa diolah dengan baik. Novel-novel berkarakter namun tidak perlu didramatisir juga tidak kurang melimpah. Sayangnya novel yang disinetronkan malah jauh lebih buruk lagi, karena hanya pinjam judul dan dompleng ketenaran saja.

Tidak heran ketua BPK mengatakan lebih baik masyarakat melihat kisahnya “berseteru” dengan gubernur Jakarta dari pada nonton sinetron, padahal sama-sama buruk, sama-sama tidak mengajarkan apa-apa selain kebodohan yang dipelihara.

Bagaimana Ibu Kartini menyaksikannya ya? Habis gelap terbitlah terang itu mungkin belum bisa terjadi, karena gelap demi gelap hadir dengan dinamika yang berbeda dan disetujui dengan aklamasi sangat bulat oleh sidang masyarakat.

Kebanggaan Ibu Kartini tentu dengan duka mendalam kala menyaksikan sisi gelap itu hadir seiring dan sejalan dengan terang yang ia rindukan. Bebas dan emansipasi yang nyata, namun dihiasi dengan bopeng-noktah gelap yang berpotensi menghilangkan terang yang meredup itu.

Era pakaian terbuka atau eksploitasi perempuan dalam ketelanjangan vulgarnya lewat, kini hadir dengan penggambaran perempuan yang modern namun kosong dalam moral, etis, dan intelektual seperti kisah di atas.

Apa peran KPI, PGRI, Serikat Guru, dan dewan yang ada? Itu tanggung jawab Anda semua juga lho. Jangan nanti salah menyalahkan dan mengatakan bukan kewenangan kami dan sudah sesuai prosedur.

Selamat Hari Kartini bagi Bangsa Indonesia

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun