Kemewahan dan Hambatan Pembangunan dalam Pandangan Koentjaraningrat
Prof. Sahetapi dalam sebuah acara mengatakan bahwa beliau percaya penuh terhadap Anas Urbaningrum tidak tersangkut korupsi, sebelum mengetahui bahwa Anas menggunakan sebuah mobil mewah. Tanda yang beliau pakai adalah gaya hidup yang sudah berbeda.
Mantan gubernur Banten Ratu Atut, sekali jalan bisa menggunakan ratusan juta, dari kerudung, baju, jam tangan, tas, sepatu, dan parfumnya. Parfum saja seharga Rp. 40 juta rupiah, sepatu antara 30-40 juta, baju 50 juta, dan belum beaya ke salon dan perawatan sebelum tampil di depan publik.
Adiknya, Wawan, memiliki beberapa mobil mewah, dan total yang disita KPK hingga 40 buah. Harganya dari ratusan juta hingga hitungan M. Rekor tersendiri dari sitaan hasil korupsi.
Ada anggota dewan daerah yang datang pelantikan menggunakan mobil mewah, yang ternyata terbukti bodong, ada pengakuan hanya pinjaman dan kini menguap begitu saja. Gaya hiup mewah yang ironisnya jauh dengan yang sedang diwakili.
Jajaran mobil mewah juga ada di parkiran gedung Kura-Kura Hijau. Wakil rakyat yang mulia dan terhormat itu ternyata perlu menaikan harga diri dengan tunggangan mewah yang berharga fantastis, sedangkan soal rakyat sama sekali tidak dipikirkan.
Seorang petinggi negeri ketahuan di luar negeri mengenakan jam tangan sangat mahal. Kemudian dibantah dan mengaku itu hanya jam imitasi, seharga jutaan saja. Demikin juga anggota dewan memiliki koleksi jam tangan yang cukup wah. Ironisnya masuk kurungan KPK, apakah demi gaya hidupnya akhirnya malak dan maling?
Tidak heran, kalau ada maling, menggelembungkan anggaran, kong kalikong, dan ya demi gaya hidup, biar gaul, berkelas, dan dianggap modern. Apakah memang gaul, seleb, atau odern itu harus bermewah-mewah? Boleh dan sah-sah saja mewah asal itu hasil sendiri dan sah baik secara hukum atau pun agama.
Koentjaraningrat, sejak awal 70-an telah melihat hal ini. Bagaimana gaya hidup mewah akan menghambat pembangunan. Ternyata apa yang Prof. Koentjaraningrat itu sangat relevan hari ini. Sayangnya lagi cara-cara mendapatkan kemewahan itu dengan maling alias korupsi, suap, mark up, dan kongkalikong yang sangat merugikan bagi bangsa dan negara.
Apa saja yang dilihat Profesor Koentjaraningrat itu, ialah:
Pertama, banyaknya kesempatan untuk mendapatkan materi dengan lebih. Hal ini dalam satu sisi sangat baik, berarti kemakmuran meningkat, namun menjadi persoalan ialah,
Kedua, kekayaan itu diperlihatkan melalui rumah, perabot, pesta, karena masih juga banyak hartanya, akan menjadi,
Ketiga, meningkatkan lagi apa yang ada di nomor dua tersebut dengan kelas yang meningkat, merk keluaran Eropa, desainer iternasional, rumah di kawasan elit, bukan hanya satu atau dua, apartemen, pesta-pesta yang dil luar kebiasaan, dan juga kendaraan yang berkelas-kelas itu. Dengan demikian bisa mengakibatkan,
Keempat, kekosongan hidup akibat terisolasi individu, atau karena tidak ada keselarasan hidup, dan arti hidup. Jelas tampak dari perilaku orang kaya, pejabat, dan juga kelompok elit bangsa ini yang masuk pada gaya hidup hedonis, menyalahgunakan narkoba, dan hal-hal negatof lainnya. istilah Jawa, kere munggah bale.
Tidak ada yang salah dengan kemewahan atau kekayaan. Hal itu wajar dan sangat manusiawi asal diperoleh dengan kerja keras dan kerja cerdas, namun menjadi masalah adalah ketika itu dengan didapat dan dikumpulkan dengan merugikan masyarakat. tidak heran banyak orang berlomba-lomba menduduki jabatan strategis bukan untuk pengabdian, namun untuk meningkatkan gengsi dan akhirnya juga mencari uang dengan mudah. Betapa mahalnya ongkos politik untuk masuk ke gedung dewan baik Kura-Kura Hijau, ataupun daerah, belum lagi menduduki jabatan eksekutif. Lingkaran setan tercipta juga di kalangan birokrasi, dari yang terendah dari seleksi masuk, hingga kenaikan pangkat dan promosi jabatan tidak pernah lepas dari isu miring soal suap dan nepotisme.
Kemawahan sebagai hasil atau konsekuensi logis atas prestasi juga tidak berdosa. Kesalahan ialah cara mendapatkannya. Bagaimana kalai gaji sebulan lima juta rupiah, tanpa kerja sampingan namun memiiki rumah mewah, kendaraan mewah, dan bisa punya simpanan pasangan di mana-mana. Ironisnya lagi, tidak malu-malu ketikan ketahuan, eh malah cengengesan, dan mengatakan sebagai kehendak Tuhan. Lha parah lagi, malah memfitnah Tuhan.
Kalangan atas atau elit banyak peluang, bagiamana menengah ke bawah? Jual beli narkoba dan tipu-tipu. Gaya hidup mewah yang dipertontonkan dengan gamblang, mau tidak mau membuat orang yang tergoda ikut serta menciptakan peluangnya sendiri. Jangan heran banyak calo dan penjual narkoba karena ingin bisa ikut merasakan “gengsi itu.” Narkoba sangat menggiurkan meskipun menghancurkan sesama, bukan lagi pertimbangan. Tidak heran dipakai banyak orang yang tidak mau kerja keras namun ingin cepat naik kelas itu.
Jangan dikira di pedalaman atau pedesaan tidak terkena imbas itu. Bagaimana orang pinggir hutan mau menjadi pelaku pembakaran hutan, pembalakan hutan, atau kerja-kerja semacamnya. Awalnya mereka nrimo, dengan sediaan alam, sekarang juga terpengaruh. Jika punya lahan lebih baik djual saja dan beralih menjadi buruh. Tidak perlu kaget kalau susah menemukan buruh tani, buruh cangkul, dan semacamnya.
Salam
Sumber: Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H