Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Rachel Mariam, Sebuah Mental Terabas Seturut Teori Koentjaraningrat

9 April 2016   19:23 Diperbarui: 9 April 2016   19:28 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kisah Rachel Mariam, Sebuah Mental Terabas Seturut Teori Koentjaraningrat

Beberapa waktu lalu, media dihebohkan dengan beredarnya sebuah surat dari anggota dewan kepada seorang duta besar di Perancis. Sang anggot dewan meminta disediakan sarana transportasi ketika liburannya di sana. Pro kontra, pembelaan dan celaan silih berganti. Jelas saja ada dua kubu, akan selalu, karena memang demikian ciri dunia ini. Ini hanya sebuah ilustrasi sejarah panjang bangsa ini.

Mental Terabas

Bahasa Koentjaraningrat yang agak kurang familier, kecuali di dalam istilah kekinian potong kompas, instan, dan sejenisnya. Apakah hal ini gaya baru? Bukan, justru sejak masa kemerdekaan juga dipakai, dan sayangnya tidak diubah dan diatasi agar makin baik dan menjadi pembelajaran hidup bersama. Pasca kemerdekaan, darurat, wajar lah ketika pejabat, militer, sistem pemerintahan, dan segalanya masih memakai perangkat warisan penjajah, yang banyak juga yang tidak lagi relevan untuk pembangunan.

Era  akhir ’60-an ada istilah guru kilat. Ini orang-orang yang cukup pendidikannya diberi kursus sekian bulan dan diberi SK untuk mengajar. Pengalaman bapak yang bersama guru model ini, menulis saja dari ujung lembaran buku sampai ujung lagi, padahal buku zaman itu ada garis di tepinya. Bisa dipahami bagaimana keadaan darurat itu ya susah untuk mencari yang ideal, minimalis malum akhirnya menjadi pilihan.

Tidak heran ketika ada pejabat terlihat moncer akan dicabut dan dipakai untuk lembaga ini atau itu. Apa yang terjadi? Jelas frustasi bagi pelaku jenjang karir di lembaga tersebut. Selain itu menjadi pelaku yang diorbitkan ini bisa menjadi besar kepala atau mandeg dalam capaiannya.

Pelaku Utama Mental Terabas Kini

Parpol. Jelas tidak ada yang bisa membantah bagaimana mereka itu payah. Jangan heran pimpinan parpol A bisa saja menjadi kandidat di pilkada atau pil apapun di parpol lain. Ideologi telah terterabas oleh kursi kuasa itu. Mungkin hanya ada di sini, ketika di pusat berebut dan gontok-gontokan di daerah berpelukan laiknya Teletubis. Bukan karena kedewasaan dalam menyikapi perbedaan, karena tidak memiliki idealisme dan idiologis. Kantor saja tidak ada apalagi ideologi. Ciri khas lainnya, ialah tidak ada kaderisasi. Jangan kaget kalau pemenang pemilu malah mendukung partai lainnya yang kecil suaranya. Ingat pilpres tentunya bukan? Atau betapa pedenya Pak Yusril yang mendatangi partai-partai jawara untuk menjadi cagubnya.

Soal Mendes...

Bebarapa hari ini sedang memanas, soal pergantian kabinet. Ada parpol yang curiga parpol lain melirik kursi yang mereka miliki. Pertanyaannya adalah, mengapa kalau hanya soal kursi harus bersitegang demikian? Gengsi? Pengabdian? Atau uang yang bisa didapat. Tidak usah terlalu susah untuk menebaknya. Menarik adalah, kala pemerintahan yang jauh lebih tertib, terbuka, dan transparan ini, masih ada yang demikian. Bagaimana di masa lalu yang ada demikian banyak celah, hingga kedua sisi antara eksekutif dan pengawasnya sam-sama masuk bui. Tiba-tiba pula berhamburan artikel mengenai sosok yang dicurigai pihak lain sebagai penggantinya, jelas dengan nada negatif.

Soal SDA...

Daftar panjang menunaikan ibadah haji semua telah tahu. Namun di masa akhir jabatan, sang menteri yang terkait bisa menunaikan ibadah serombongan besar. Apa artinya? Bahwa terabas aturan termasuk antrian ini tidak berlaku bagi pihak-pihak terkait. Apakah ini salah jelas secara moral ia salah karena bisa menghilangkan banyak kesempatan bagi yang lain. Jawaban pokil datang dengan mengatakan bahwa yang dipakai adalah kursi kosong karena banyak yang mundur. Prosedur sebagai senjata andalan di dalam melakukan kejahatan kerah putih ini.

Soal rebutan kursi di dpr....

Jangan tanya kalau bicara dewan. Siang malam hingga siang lagi juga tidak akan habis. Bagaimana pemenang pemilu bisa dipecundangi dengan semena-mena dengan keroyokan mereka. Tidak heran pula kursi bisa dibagi-bagi seperti membagi permen untuk teman main kelereng, soal kinerja entah mana duli. Jangan kaget pula demi atas nama rakyat akan ada ide memekarkan wilayah, membangun ini itu, memangkas UU atau peraturan entah untuk apa. bisa tiba-tiba nambah pasal yang antah barantah asalnya.

Soal PKB...

Oma irama, main terabas paling fenomenal jelas PKB. Bagaimana mereka dengan gesit manufer ini i tu yang penting masuk kekuasaan. Jelas masih segar dalam ingatan bagaimana Bang Oma dipecundangi mentah-mentah. Pra pemilu dijagokan untuk jadi capres, sehingga ia mati-matian kampanye bagi partai ini. suara naik namun tidak signifikan, tanpa ba bi bu, PKB mendukung Pak Jokowi, bagaimana Bang Oma, lupa. Cara yang mirip kelihatannya dilakukan ke Dhani.

Zaskia Ghotik, paling parah ada di sini. Bagaimana pembicaraan soal Zaskia belum juga usai soal pelecehannya untuk Pancasila sebagai lambang negara, eh ia didaulat sebagai duta Pancasila. Kalimat pendukung pilihan ialah, bagaimana gaung perkataannya bisa demikian besar. Gaung mau baik atau tidak, bukan urusan, yang penting adalah ada gaungnya. Nyata sekali sebagai yang penting hasilnya, soal cara tidak lagi menjadi pertimbangan.

Bangsa ini besar, kaya, dan melimpah akan banyak hal. Mengapa masih banyak kemiskinan dan banyak keprihatinan? Jelas dari contoh-contoh di atas bagaimana sikap terabas yang hanya berfokus pada hasil tanpa peduli akan proses jelas membuat semua hancur lebur. Bangsa dan negara itu bukan hanya sebatas pemilu lima tahunan, namun untuk sepanjang hayat. Bukan hanya sekali tempo selesai sebagaimana pemikiran politikus, namun kekal abadi sebagaimana pemikiran rakyat dan negarawan.

Terabas memang akan memberikan ahsil cepat namun akan cepat pula hilang dan bubar jalan. Apakah akan terus bahagia dengan pendekatan demikian saja?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun