Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menko Luhut: Gerakan Intoleran akan Ditindak Tegas

6 April 2016   09:27 Diperbarui: 6 April 2016   09:54 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menko Luhut: Gerakan Intoleran akan Ditindak Tegas

Angin surga atau nyata. Intoleran, merendahkan pihak lain, tidak taat hukum, dan rendahnya wibawa aparat dan pemerintah sangat panjang kalau mau diurai. Wasit yang tidak tegas dalam memimpin pertandingan, pemain dan pelatih yang tidak mau mengormati wasit, perilaku di jalan raya yang seenaknya, dan elit parpol dan negara yang merasa paling hebat, merupakn cerminan tindakan intoleran dalam skala kecil.

Toleransi bukan hanya soal agama dan menghormati agama lain, namun juga sikap menerima kekalahan dengan lapang dada dan membiarkan pemenang menjalankan programnya dengan baik. Sikap intoleran bisa karena angkuh dan sombognya pihak yang tidak mau diatur atau karena adanya pembiaran dari pengaturnya itu sendiri.

Perilaku Intoleran

Tidak sulit menemukan perilaku ini, dari yang paling kecil hingga paing besar dilakukan oleh orang yang tidak berpendidikan hingga bergelar berderet pun tidak berbeda.  Membangun rumah ibadat dengan berbagai kesulitan, hingga tidak mau mengakui kekalahan dalam pilpres. Dari menerobos lampu merah hingga menyerobot arus lalu lintas.

Hingga hari ini tentu masih ingat bagaimana peristiwa Tolikara hingga Aceh Singkil. Bagaimana penganut Syiah yang masih ada di pengungsian. Ibadat Ahmadiyah yang dihajar dan polisi di depannya diam saja.  Bagaimana jemaat Yasmin masih belum memiliki gedung gereja, sedangkan semua aturan telah ada.

Pencuri sendal atau kotak amal di rumah ibadah jangan harap bisa lepas tanpa bogem mentah di muka kalau ketangkap tangan. Juga maling jemuran. Kesalahan orang lain sepertinya paling besar daripada orang lain. Sikap merasa paling benar sering menjadi pilihan dominan bangsa ini.

Belajar Wibawa akan hukum

Hampir setahun FIFA beku, menyaksikan siara langsung Piala Bhayangkara dengan harapan tinggi, permainan, pemain, dan perangkat pertandingan yang meningkat dan menjanjikan keluar dari kepompong dan menjadi kupu-kupu yang indah. Harapan itu ternyata tidak terjadi. Pelatih yang dari luar negeri masuk lapangan dan mendorong wasit. Kesalahan ganda, bagaimana ia keluar dari kotak pemain cadangan saja sudah pelanggaran, ini masuk lapangan, dan mendorong wasit. Wasit pun diam saja tidak mengeluarkan kartu. Bagaimana wasit dihormati kalau dia saja takut dan tidak berwibawa begitu. Sering demi keamanan akhirnya tim tuan rumah diberi hadiah pinalti, dibuat menang dengan berbagai cara. Toleran tehadap ancaman namun menciderai sikap sportivitas yang menjadi nadi olah raga itu sendiri.

Agama, lah jangan ditanya lagi. Berjibun di media tersaji. Pancasila hanya jadi slogan di atas kertas.  Menarik kembali apa yang sudah disahkanpun menjadi hal lumrah, dengan berbagai dalih yang secara esensial memalukan.  Dasar hukum di Indonesia adalah Pancasila dan UUD ’45 yang dijabarkan di dalam UU dan peraturan dengan turunannya. Namun ada pihak tertentu yang bisa mengalahkan itu. Kalau tidak dituruti membakar, merusak, bahkan kadang membunuh, dan didiamkan saja.

Kelompok kecil, sedikit, atau lemah. Berbagai kelompok, agama hanya salah satunya. Jangan harap bisa damai, tenang, dan bebas mau berbuat, mau bekerja diskriminasi, bersikap, ata menjadi pejabat publik akan disorot dan dibesar-besarkan. Hukum kita telah melimpah dan berbuih-buih, namun aplikasinya nol besar.

Alasan Terjadinya

Pembiaran

Pembiaran demi pembiaran, terutama post reformasi. Perilaku seenaknya sendiri menjadi. Reformasi bukan berarti liar dan tidak beradab tentunya. Bagaimana dulu lalu lintas itu masih bisa diatur, kini? Polisi menghentikan saja masih bisa diprotes (bukan dalam konteks polisi semena-mena), misalnya menyeberangkan pejalan kaki.  Mana mau memberikan kesempatan bagi penyeberang jalan. Ini hal relatif kecil, yang besar jelas saja, polisi dengan dalih kalah personel, demi ketenteraman namun membela kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Pembiaraan pelanggaran demi pelanggaran  yang bergerak bak bola salju dan kini makin liar dan tidak terkendali. Walikota, bupati, polisi bisa mengubah surat keputusannya sendiri demi aman dan tidak ada keonaran. Ketenteraman semu yang diciptakan oleh pejabat sendiri. Dalih demi ketenteraman yang dasarnya demi kedudukan sendiri aman.

Kuasa/kursi

Orientasi masih kekuasaan dan kursi. Isu paling seksi itu soal SARA dan itu yang paling banyak disukai oleh sebagian masyarakat bangsa ini. Tidak heran paling ramai dan heboh soal SARA kalau ada pilkada atau bahkan pilpres. Jika pengbdian yang dicari, maka orang tidak akan menggunakan cara kotor di dalam

Merasa yang Paling dan Mengingkari Perbedaan

Kesadaran diri bahwa dunia ini beragam dan berbeda masih lemah. Merasa paling benar, paling baik, dan paling yan lain maka menilai berbeda itu salah dan bisa disalahkan dan “dimusnakahkan.” Sikap yang perlu disadari tidak tepat dan menebarkan permusuhan. Pencipta memberikan perbedaan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan, bukan sebaliknya, mosok Tuhan menciptakan salah kan tidak mungkin.

Harapan.

Beberapa kepala daerah berani menyatakan sikap, bahwa tidak akan kalah dengan tekanan yang melanggar hukum. Pelanggaran hukum dengan memaksakan kehendak oleh kekerasan tidak mengalahkan keputusannya, harapan besar yang jarang, selama ini sering pejabat takut tidak populer, takut dimusuhi mestipun tidak takut melanggar hukum.

Pendidikan yang mengajarkan intoleran telah diatasi, meskipun banyak yang masih tidak toleran, namun makin kecil. Kelompok intoleran telah dilemahkan dengan sikap tegas aparat negara. Sikap tegas dari pemerintah juga mendidik anak negeri untuk menghormati dan toleran terhadap yang lain.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun