Akhir pekan hingga dua tiga hari ke depan akan hangat menjadi perbincangan soal MSN. Ada dua nama MSN dengan dua kisah dan dua cerita yang sangat bertolak belakang. Satu soal prestasi di el-classico, satu sisi lain soal korupsi. Meskipun gagal di pertandingan klasik di Spanyol nanti tetap saja MSN lebih baik nadanya daripada MSN satunya.
Mereka memang trio paling keren saat ini, singkatan paling umum LNM, lha nanti sama juga dengan ketum PSSI sama-sama juga dengan MSN (Muhamad Sanusi). Rekor demi rekor mereka torehkan. Pembicaraan mereka nanti baik gagal ataupun berhasil akan diperbincangkan, belum lagi mereka juga akan bertanding dengan teman sekota Real Madrid yang jauh lebih ketat darimada Real Madrid musim ini.  Selisih tiga hari mereka harus bertemu Atletico Madrid di level kalah menang berbeda dengan el-clasico yang  seri saja cukup aman hingga akhir musim.
Suares dan Neymar yang cukup mudah terprovokasi untuk main di era ini, berbeda dengan masa Madrid di tangan Muo yang terkenal dengan kontroversi dari kartu merah hingga colok mata segala. Akan seberapa parah Neymar ketemu Pepe atau Marcelo berhadapan dengan Suares. Kali ini lebih adem dan keras namun bukan kasar. Akan sengit hingga menit akhir namun tidak ada saling cekik hingga berada di timnas segala, atau drama berguling-guling dari kedua tim. Sosok pelatih ternyata sangat berpengaruh pada warna tim.
MSN, Muhamad Sanusi, kisah berbeda dengan kisah trio Barca. Nuansa kelabu yang ada. Salah satu anggota dewan DKI tertangkap tangan sedang menerima uang suap. Sosok yang tidak semeledak-ledak abangnya, malah cenderung lebih tenang dan bijak dalam bersikap terhadap Pak Ahok ini ternyata jatuh juga dalam kubangan maling. Salah satu hal positifnya ialah ia jujur mengatakan bahwa ia tidak jujur bertahun lalu. Kala Pak Ahok menyebut nama (asal saja, wong Dian Satro, yang gak tahu apa-apa juga ia sebut), untuk jadi wakilnya usai Pak Jokowi promosi ke RI-1. Pak sanusi mengatakan ia tidak jujur-jujur amat seperti syarat dari Pak Ahok. Ternyata sejak lama ia mengakui perbuatan yang bermuara kemarin itu.
Politik mahal. Politik di Indonesia itu mahal karena bukan dari kerja keras namun potong kompas. Memmilih bukan berdasar kemampuan dan ketrampilan, namun ketenaran dan uang yang dibagikan. Tidak heran akan lahir bandit demokrasi yang mencari uang pengganti bea yang telah digelontorkan untuk mencalon ini itu. Jalan pintas paling mudah jelas saj main mata dengan pengusaha dan penguasa. Pengusaha dalam mengeluarkan izin dan pembuatan undang-undang atau perda, kalau penguasa jelas sekali main anggara dan undang-undang atau perda juga. Tidak heran banyak keputusan itu berdasar transaksional dan beraroma saling sandera.
Sampai kapan akan berakhir? Apakah masyarakat yang salah? Atau siapa yang bertanggung jawab? Â Harus diakhiri sekarang juga. Peran masyarakat besar, termasuk pejabatnya. Namun paling besar adalah sistem yang telah dibentuk baik sengaja atau tidak sengaja selama perjalanan sejarah panjang bangsa ini. penyederhanaan parpol menjadi priorotas. Naikan angka ambang batas pemilih menjadi sarana ampuh agar dengan seleksi alam parpol yang tidang terpilih tidak bisa ikut pemilu lagi. Kedua pimpinan parpol gagal jangan boleh lagi mendirikan dengan berganti nama atau lambang namun sama juga keberadaannya. Ketiga ideologi dan visi yang jelas dan pasti bukan hanya tempelan. Selama ini jelas-jelas berbeda namun dengan mudah mencari-cari pembenar untuk bisa menyatu untuk mendapatkan kekuasaan. Keempat, masyarakat makin cerdas, di warung kopipun sekarang ini politik telah menjadi makanan tambahan, soal DKI bisa diperbincangkan di mana saja, ini menandakan masyarakat jauh berkembang, di sisi lain parpol masih berkutat dengan masa lalu, kemenangan dan kursi dengan segala cara. Kecerdasan belum ada di parpol. Maling dan dihukum keluar diterima dengan pelukan hangat di parpol yang pernah mereka cela, menandakan parpol tidak serius membangun ideologi. Tahanan sekarang bukan tahanan politik masa kemerdekaan, namun tahanan karena maling, kog didukung dengan gegap gempita.
Masyarakat yang makin melek informasi dan politik harus bergerak untuk tidak memilih pribadi yang pernah dibui karena maling, disebut di dalam sidang karena maling, apalagi menjadi pimpinan atau bagi-bagi uang maling menjadi apapun itu, baik legeslator, apalagi pimpinan baik daerah atau pusat. Jangan mau dikelabuhi terus menerus.
Penyederhanaan parpol. Mendesak agar parpol makin sederhana. jenjang karir politik bisa lebih bersih dan jelas bukan asal comot dan tenar saja. Pindah-pindah parpol demi kuasa, karena di partai lama maling, tidak bisa terjadi.
Parpol bermartabat, tidak menampung buangan partai lain karena maling, beda kalau beda visi dan ideologi, toh banyak juga, kader idealis namun tidak tertampung oleh parpol. Selama ini jauh model tersebut ada.
Pra duga tak bersalah bukan sebagai kedok untuk bersembunyi atas tindakan maling. Biarkan penegak hukum menerapkan budaya praduga bersalah untuk maling (korupsi), narkoba, dan terorisme. Komnas HAM tidak usah ikut-ikut dalam ranah ini, sering mengganggu daripada membantu.
Coba MSN Barca itu dibicarakan karena prestasi dan dengan kebanggaan, beda dengan yang sebelah bukan? Apakah kita akan membicara yang baik-baik itu dari luar saja? Tentu tidak.
Salam.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H