Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pejabat-pejabat Publik Nyambi, Tambahan Bukti untuk Deparpolisasi

31 Maret 2016   06:08 Diperbarui: 31 Maret 2016   06:33 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tentunya kalau telah menjadi pejabat publik, seperti kepala daerah, anggota dewan, atau lembaga-lembaga negara lainnya pekerjaan awal dilepas dan ditinggalkan. Artis, pembawa acara, pengacara, atau profesi lainnya perlu ditinggalkan, demi profesionalisme dan tidak mendua tentunya.

Beberapa bisa kita lihat masih wira-wiri dengan profesi awalnya, bisa karena memang tidak mampu di bidang yang baru, akhirnya setengah hati. Atau demi materi untuk pembiayaan kala nyalon? Kalau yang kedua ini saatnya hentikan demokrasi mahal ala Indonesia. Jika alasan pertama, yang tidak mampu di bidang pemerintahan atau dewan, lebih baik mundur daripada merugikan banyak pihak, bangsa dan negara beserta masyarakat. Biasanya yang nyambi itu miskin prestasi.

·  Bintang Iklan, dulu katanya hanya menghabiskan kontrak, lha ini kog ada iklan baru, mosok stok lama baru keluar, sama sekali bukan karena toh produk yang diiklankan merupakan sebuah varian baru, sama sekali belum pernah ada. Prestasi juga sama sekali tak terdengar selama ini. Memang profesional di bidang lain, yaitu dunia keartisan. Sangat kompeten dan keren di sana, sayang karena parpol malas yang membajak dan membuat sosok pejabat harus mendua. Parpol jelas bertanggung jawab dan menegur kadernya agar bisa fokus bekerja sesuai dengan bidangnya.

·  Profesi Lama lainnya, contoh di atas jelas publik figure sejak awal, namun ada pula di daerah ataupun pusat:

§   Dokter, masih praktek. Apa yang terjadi, pasien harus menunggu ketika ada pembicaraan pemerintahan yang mengharuskan penanganan segera. Tentu sangat merugikan kedua-duanya, pasien di satu pihak dan masyarakat di sisi lain. Pasti tidak akan baik di kedua tanggung jawabnya.

§   Pedagang atau pengusaha, hal ini paling banyak dan sering jatuh pada konflik kepentingan dan bermuara pada bui. Mengapa demikian, karena uang dan anggaran yang banyak dipakai sendiri melalui pintu lain dalam arti perusahaannya yang akan menjalankan proyek di tempatnya. Tentu merugikan pengusaha yang banting tulang di dalam usahanya. Sangat tidak adil bagi yang berusaha sungguh-sungguh. Suap dan kolusi sangat erat di sini.

Biasanya pejabat yang mendua itu tidak berprestasi, lebih dominan pelanggar hukum, seperti tidak disiplin jelas paling minim, belum lagi penyalahguna narkoba, dan paling parah penyalahguna kekuasaan, sehingga korup dan mengatur hukum perundangan demi kepentingan sendiri. Sayang kalau memang kompeten, profesional di bidangnya harus dibajak oleh parpol sontoloyo.

Apakah pejabat Indonesia itu banyak waktu dan memiliki waktu luang sebanyak itu, kog masih bisa nyambi. Jangan-jangan banyak staf ahli itu yang menjalankan pemerintahan dan kinerja dewan dan aslinya mereka di tempat asalnya. Jika demikian negara dibebani oleh pejabat abal-abal demikian. aneh bin ajaibnya, pejabat demikian jarang yang dikritik baik oleh LSM, masyarakat, juga oleh lembaga yang berwenang. Beda dengan Pak Ahok, Bu Risma, Pak Emil, dan lain-lain.

Pribadi yang memiliki pekerjaan dan profesi profesional, sudahlah di sana, tidak perlu mengambil jatah milik orang lain yang jauh lebih kompeten, profesional di bidangnya, dan mau bekerja keras. Ada satu lowongan yang diambil dan itu tentu jatah satu orang terampas. Sangat tidak adil tentunya.

Soal bintang iklan ini bukan iklan layanan masyarakat. Meskipun sah-sah saja pejabat membuat iklan untuk lembaganya, namun jauh lebih bijak dan adil jika bukan mereka sendiri. Lebih fatal kalau iklan komersial. Misalnya pejabat itu mau nyalon lagi tentu diuntungkan secara tidak sehat dibandingkan saingannya. Hal ini memang tidak menjamin kemenangan sebagaimana pengalaman Andre Taulani. Perlu bijaksana dan itu ranah rasa berarti berkaitan dengan moral dan berhubungan dengan kualitas spritualitas pribadi.

Mengapa terjadi?

Politik mahal, ala bandit demokrasi. Politik mahal, untuk membeli suara dan kursi yang perlu dihilangkan sehingga lebih menjadi pengabdian daripada profesi dan masih mendua dengan pekerjaan lama yang menghasilkan. Intinya soal uang yang maha kuasa masih menjadi panglima.

 Tidak mampu namun dibajak oleh parpol. Sering tokoh itu sebenarnya secara politik, birokrasi, atau pemerintahan sangat lemah, namun karena tenar, keterpilihan tinggi, dan disukai, langsung saja didandani dengan visi misi abal-abal dan jadilah pejabat publik, namun jiwanya kosong.

Parpol malas dan tidak mampu menghasilkan kader berkualitas. Deparpolisasi itu ulah parpol sendiri. Mereka tidak mampu menciptakan kader berkualitas, maka asal comot, membajak, dan mengambil begitu saja. Repotnya, yang dicomot seneng-seneng saja, namun ya itu tetap mendua. Hasil minimalis tentunya dari model pengaderan demikian.

Tidak heran ada pejabat yang baru menjabat sudah kena kasus narkoba, mati di tengah jalan karena jelas sangat tidak sehat kala maju, melakukan hal-hal remeh dan memalukan sebagai kompensasi ketidakmampuan yang ditutupi dengan sikap tinggi hati biasanya.

Apakah hal demikian akan terus dibiarkan? 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun