Beberapa waktu lalu Pak Beye jadi topik pembicaraan berkenaan dengan tournya yang hancur lebur karena blusukan Pak Jokowi. Belum surut sudah melakukan pelatihan kader dan kembali menyatakan keunggulan-keunggulan yang bejibun itu (meskipun buktinya masih perlu divalidasi lagi). Eh tiba-tiba sang besan juga membela mengenai dwelling time. Katanya masa mereka berkuasa sebagai besan itu menurunkan dari tujuh hari ke empat hari. Bolehlah klaim apapun itu, apakah begitu saja masa transisi yang sekejab itu masa tunggu jadi naik lagi, dan harus presiden hingga mengganti menteri dan hingga ramai dengan RJ Lino segala? Sekian waktu naik tajam soal DT ini?
Apa yang ditampilkan, disanggah, dan klaim kog semua yang dilakukan Pak Jokowi, lucu bin aneh, lebih keren jika Pak Beye dan kolega itu justru menyatakan yang Pak Jokowi belum bisa membuktikan. Namun lucu bin aneh malah sama sekali tidak mereka sentuh.
1. Â Â Â Infrastruktur, namun malah lupa soal rencana sejuta rumah
Klaim bahwa masa beliau memerintah juga menggelontorkan begitu banyak uang untuk pembangunan. Namun yang terjadi adalah bancakan yang ada di dalam kendali mereka. Parpol pemerintah baik eksekutif dan legeslatif semua masuk bui. Apa artinya bahwa dewan dan menteri sudah melakukan kong kaligong anggaran, tidak heran uang banyak yang lenyap untuk mereka sendiri bukan untuk membangun. Mengapa mereka tidak membahas program sejuta rumah yang sepertinya susah untuk direalisasikan. Malah pembangunan yang jelas-jelas dirasakan oleh rakyat. Reaksi atas bantahan bahwa pemerintahan kini menghambur-hamburkan uang di saat krisis. Aksi atas reaksi pembenaran diri yang malah membuat makin kacau. Lihat pengakuan anggaran untuk infrastruktur boros, kemudian dinyatakan sendiri pula sebagai mereka juga melakukan. Lucu dan aneh bukan?Â
2. Â Â Â Parpol, namun abai akan perilaku dewan yang malas dan gagal dalam kaderisasi
Persoalan Golkar dan P3 berkali-kali disentil sebagai bahan untuk menebar kritik bagi pemerintahan kini, namun lupa apa yang dilakukan oleh petinggi kedua parpol itu. Kalau membantu tentu akan menyatakan prihatin akan keadaan ini. tenang namn berkualitas bukan tenang demi keadaan semu saja. Mengapa tidak berbicara soal kaderisasi dan keberadaan independen selain basa-basi saja. Banyak isu yang bisa dibangun untuk bangsa bukan hanya mengatakan yang telah dilakukan.
3. Â Â Â Hukuman Mati, namun malah tidak membicarakan soal bahaya narkoba
Soal hukuman mati dipersoalkan karena bisa melukai bangsa lain. Apakah lua bahwa anak bangsa dilukai, bahkan dibunuh demi mendapatkan uang bagi bangsa yang dibela perasaannya itu? Berapa banyak saja anak negeri ini menjadi bloon karena narkoba, salah atau bukti terbesar ada di Bupati Ogan Ilir. Apa yang dibahas bukan demi kebaikan namun hanya asal berbeda dengan program pemerintah.
4. Â Â Â Penenggelaman kapal, namun membiarkan pencurian demi pencurian
Penenggelaman kapal, dinyatakan sebagai bentuk ketegasan namun perlu juga menjadi persahabatan dengan negara tetangga. Lha ini nelayan sendiri bisa disedot kapal asing di tanah sendiri, eh malah dinyatakan sebagai perlu menjaga perasaan negara lain. Kalau begitu, demi namma baik yang dalam tidak peduli rasanya. Menginjak negeri sendiri demi pujian dari sahabat. Mengapa tidak membicarakan bagaimana mengurangi pencurian ikan dan pelanggaran llintas batas laut, kemudian nelayan makin sejahtera. Banyak hal yang bisa dilakukan Pak Beye dan kolega untuk membahas hal ini.
5. Â Â Â Gaduh menteri, namun tidak menyinggung menteri yang masuk bui
Kabinet ini memang tipe pekerja termasuk mulut dan kesenangan untuk saling bersinggungan. Tidak heran kalau Pak Beye yang tenang, santun, dan lemah lembut itu risau, galau, dan gelisah, bukan Pak Beye banget. Tidak heran beliau berkali-kali memuji dirinya sebagai pimpinan kabinet yang sukses menenangkan anak buahnya. Sayangnya tenangnya itu seperti kucing yang tidur pules karena kekenyangan maling ikan asin, bukan kecapekan bekerja dan berusaha keras demi negara. Mengapa tidak berbicara mengenai prestasi menterinya dalam membangun yang benar-benar nyata dirasakan rakyat (atau karena tahu tidak ada).
6.    Soal PSSI namun abai soal prestasi dan peningkatan kualitas, mengapa tidak berbicara soal PBSI yang tidak sekeren era ’90-an.
Masalah PSSI yang sangat sarat kepentingan bagi partainya dan pengusungnya, tidak heran kalau beliau konsern sekali mengenai bidang ini. Namun mengapa tidak membahas prestasi, bukan soal kontroversi pengurusnya. Pengurus itu bagian kecil dari dunia sepak bola lho. Jauh lebih penting soal pemain. Mengapa juga tidak berbicara soal PASI atau PBSI yang sekarang jauh menurun daripada masa lalu.
7. Â Â Â Mengapa tidak bicara soal pilpres langsung sebagai prestasi beliau yang tidak terbantahkan. Apakah tahu melakukan sesuatu atau karena presiden Jokowi tidak membahas hal ini? bisa memmbusungkan dada pilihan rakyat dua kali lho, pertama lagi,, mengalahkan Bu Mega dua kali.
8.    Berbicara kecepatan dalam membangun kabinet untuk menjawab kecepatan Presiden Jokowi dalam  banyak bidang, namun malah melupakan kabinet yang disusun cepat itu rontok karena maling bukan kinerjanya yang buruk atau tidak  profesional. Cepat yang tidak signifikan bagi bangsa dan masyarakat secara langsung.
9. Â Â Â Tour de Java untuk melakukan blusukan yang sangat terlambat. Sebenarnya ini hanyalah perbuatan sia-sia, coba melakukan apa yang tidak dilakukan Pak Jokowi tentu akan mendapatkan apresiasi positif dan lebih berdaya guna termasuk bagi Demokrat sendiri.
Kritik, masukan, dan juga klaim prestasi dari pemerintah sebelumnya tentu sangat baik dan bahkan harus sehingga ada pembangunan berkesinambungan. Pemerintah yang meneruskan tidak menjadi arogan dan lupa daratan dan main hapus ide sebelumnya. Ketika yang disampaikan itu tidak berdasar, malah apa yang dilakukan jelas bukan masukan namun WTS, waton sulaya, asal berbeda. Masukan itu jelas membantu, kalau seperti ini namanya griwuki, mengganggu atau minimal menghambat. Kritis itu boleh dan harus malah wajib, namun tentu berdasarkan manfaat. Apakah demi kepentingan bangsa dan negara atau demi kepentingan kelompok. Pembicaraan berpusat pada prestasi sendiri dan menilai minir bagi kelompok lain, tentu bisa disimpulkan itu kepentingan sendiri dan kelompok.
Klaim prestasi itu boleh-boleh saja, namun tentu akan lebih bernilai kalau dikatakan oleh pihak lain. Presatasi itu pengakuan pihak luar bukan semata  penilaian sendiri bukan? Jangan khawatir akan dilupakan, ingat bagaimana Bung Karno itu disingkirkan dengan begitu ketat oleh pemerintahan lalu, namun semua capres di pilpres lalu semua memakai pakaian, jargon, cara bicara Pak Karno kog. Jangan sampai bahwa apa yang Pak Beye dan Pak Besan sampaikan itu malah menenggelamkan prestasi yang tidak seberapa itu semakin dalam.
Jadi diri sendiri dan memiliki ciri khas tentu akan diingat. Ketenangannya tentu khas, namun perlu isi agar ada kesan yang ditangkap bukan lamban namun berkualitas. Penuh pertimbangan matang dan hasilnya baik, bukan mikir tidak berbuat.
Salam
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H