[caption caption="Ilustrasi - berkoar-koar merendahkan lawan politik (Kompas)"][/caption]Politik sebagai sebuah seni, tentunya membutuhkan etika dalam mengelolanya. Etika yang dilepaskan dari cara-cara mendapatkan kekuasaan akan menghasilkan sebuah kuasa tiran, perilaku busuk politikus, dan tentunya bandit-bandit demokrasi yang hanya mengeruk kekayaan di dalam kekuasaannya.
Fenomena menarik bagi bangsa Indonesia yang tengah mengalami perkembangan perpolitikan di mana sekian puluh tahun dalam cengkeraman tiran, euforia, coba-coba, kebanggaan, dan sukacita yang berlebih membuat banyak kelucuan kadang kenaifan tersendiri. Pilpres usai, kini datang cerita dari DKI-1. Kisah yang berkutat akan kelemahan parpol menghasilkan kader terbaik berhadapan dengan tokoh yang berani melawan arus.
Namanya belajar tidak jarang orang akan jatuh dan bangun. Beberapa tokoh yang mengalami jatuh atau kecelakaan politik:
1. Jusuf Kalla: Negara ini akan hancur jika dipimpin Jokowi
Sekarang pendamping utama orang yang pernah ia katakan sebagai orang yang akan membawa kepada kehancuran bangsa ini. Media makin berani dan terbuka termasuk mengingatkan orang nomor dua ini akan pernyataannya kala itu, dan akhirnya cuma senyum-senyum untuk menjawab pertanyaan yang sungguh susah untuk dijawabnya itu.
2. Puan: Petugas partai
Pilpres usai dan tarik-menarik kepentingan terjadi. Tidak heran sang menko perempuan ini mengeluarkan pernyataan yang mendapatkan balasan hujatan yang tidak sedikit. Hendak menyatakan bahwa parpol yang membawa kepada kursi kekuasaan itu adalah kader yang bisa juga dimaknai sebagai petugas partai. Jelas saja menjadi tertawaan karena kesayangan masyarakat direndahkan oleh petinggi partai yang memang sedang tidak disukai karena pola pendekatannya.
3. Edi Prasetio: Deparpolisasi
Reaksi spontan akan pilihan jalur independen gubernur bertahan. Tidak lama mendapatkan balasan yang setimpal dari koleganya sendiri yang menyatakan bahwa itu hanya pernyataan pribadi, bukan pernyataan parpol. Dengan demikian, apa yang dikatakan itu hanya milik ketua dewan, dan partai tidak pernah menilai yang sama.
***
Kecelakaan demi kecelakaan politik hal yang wajar, reaksi publik yang sangat menentukan. Bagaimana Demokrat hingga kini masih merasakan getirnya “Katakan Tidak” karena kecelakaan yang fatal. Baru saja iklan-iklan membanjir dengan slogan mereka, satu per satu para bintangnya masuk bui disebabkan maling uang negara hingga ketum, bendum, dan para kadernya di kabinet masuk antrean KPK.
Sedikit berbeda petinggi Demokrat juga yang mengatakan Golkar akan mendapatkan satu digit kala pileg, dan dia dengan susah payah, masih berkuasa bisa membuktikan entah dengan berbagai cara bisa terjadi. Kecelakaan yang tidak parah.
Sekaliber lulusan Amerika saja bisa jatuh dalam kecelakaan-kecelakaan. Prof. Amin Rais jatuh berkali-kali hanya dengan satu tema soal Jokowi. Mengatakan ini-itu namun makin membuatnya jatuh lebih dalam, dan tidak bisa mengatasi kekacauan yang ia timbulkan sendiri.
Kecelakaan terjadi karena emosional tanpa terlebih dahulu berpikir masak-masak dalam mengeluarkan pernyataan. Politik itu pada dasarnya tidak ada kawan abadi namun lawan juga tidak akan kekal, belum lagi bangsa yang masih belajar seperti bangsa Indonesia. Pusat bermusuhan seperti kucing dan anjing, di darah berpelukan seperti anak-anak kucing yang kekenyangan.
Ahok membuat banyak pihak harus bermanuver dan sering membuat jatuh-bangun orang-orang yang kurang cerdik dalam bersikap. Ketua dewan Jakarta ini masih perlu banyak belajar seni dalam berpolitik. Sejak awal dia ini agak sering condong membela kolega di dewan dan berbeda pandangan dengan petinggi parpolnya. Sejak pilihan gubernur, wakil gubernur, dan soal RAPBD kelihatan kecenderungannya untuk berbelarasa dengan kolega di dewan, dan hal itu justru sebaliknya dengan DPP dan parpolnya. Akhirnya dia harus berbalik badan dengan susah payah. Kali ini ingin jadi pahlawan dengan pernyataannya dan eh malah dibantah teman sendiri dan dia mau tidak mau tidak berdaya.
Politik bukan barang yang kasat mata, seni itu bisa dinilai dengan seribu kacamata. Kalau seirama dengan petinggi (maklum parpol di sini masih ketum sentris, susah keluar dari pakem itu) karier akan moncer, namun kalau beda yang siap-siap saja mendera kemaluan berkepanjangan. Cara pandang yang beda dianggap salah karena pasti akan dengan cepat dijawab sebagai bukan pandangan partai atau ketum.
PDI-P paling banyak memiliki korban kecelakaan sepert ini, ada Masinton, Efendi Simbolon, barisan sakit hati yang seperti membela parpol namun ternyata malah dinilai berseberangan dengan pemikiran ketum (parpol). Tidak heran mereka yang awalnya berkoar-koar di mana-mana, pelan namun pasti hilang dari percaturan elite.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H