Kelompok Garis Keras Menampar Wajah Presiden Di Tengah Kebanggaan Tuan Rumah KTT OKI
Pagi ini kaget ketika mendapatkan khabar bahwa ada penolakan pendirian gedung gereja oleh sekelompok warga, bukan masalah pembangunannya, namun sedang ada KTT OKI. Tuan rumah yang berperan namun harus dinodai riak yang sangat memalukan.
Sejatinya Indonesia berbangga ketika menjadi tuan rumah KTT Luar Biasa OKI, tema sentral pun soal Palestina. Sangat humanis dan penting bahwa penjajahan dan pendudukan serta kewibaan bernegara itu patut untuk dijunjung.
Dari Bakasi Utara ada demo soal pembangunan gereja. Bekasi, tidak jauh dari Jakarta hanya sepelemparan baru, dan itu tentu sangat memalukan. Persoalan klasik soal pembangunan rumah ibadah di manapun. Di Papua pernah kesulitan membangun masjid dan sebaliknya. Itu bukan menjadi persoalan yang saya angkat di artikel ini.
Persoalan momentum baik dirusak segelintir kepentingan orang di Bekasi. Mereka memaksakan untuk mencabut plang IMB, berarti mereka sudah menyatakan bahwa pejabat pembuat izin itu sebagai salah. Kedua, memaksa polisi memberi garis polisi, dengan demikian polisi di bawah kendali mereka, berdemo di depan kantor walikota untuk mencabut IMB, dan ditengarai telah menunggu kelompok garis keras. Jika demikian adalah, “preman” berkedok agama bersama-sama dengan warga hendak menekan walikota, polisi, dan kelompok yang berbeda dengan mereka.
Apakah benar ini warga beragama? Bukan mereka sekelompok orang menggunakan agamanya sebagai pembenar akan kekerasan. Saya sepakat kalau memang salah dalam birokrasi dan perizinan dicabut (namun kalau tidak salah ini gereja Katolik, yang sangat terikat hukum kanonik, biasanya tidak melanggar hukum dengan mendahului bangunan baru izin, nanti gampang. Bukan demikian, hukum gererja juga ketat). Persoalan yang saya titik beratkan adalah sedang ada KTT OKI eh malah warga bangsa sendiri berlaku pemaksaan.
Tunda seminggu saja dan bisa dikatakan dengan baik-baik ke pejabat terkait, mengapa harus demo, kalau justru mencari momentum, itu justru mempermalukan diri sendiri. Sikap toleran, ramah, dan penuh penghormatan yang dibanggakan pejabat di depan pimpinan negara OKI malah diciderai di waktu yang sama.
Sejarah panjang yang oleh penguasa yang lalu-lalu memang dipakai untuk membuat terpecah dan resah ini, ternyata dipakai oleh sekelompok orang yang tidak suka akan kebersamaan. Politik devide et impera oleh kolonial diadobsi oleh pimpinan terdahulu untuk kekuasaannya ternyata belum berakhir. Bangsa ini banyak yang toleran dan hidup berdampingan dengan damai, baik, tidak ada persoalan, hanya segelintir orang yang berpikir sempit dan itu ada di mana-mana dan suka akan provokasi jadi seolah banyak dan kuat.
Negara tidak boleh kalah oleh kelompok, apalagi preman berkedok agama seperti selama ini. hukum takut dan mengalah demi memenuhi hasrat sekelompok orang intoleran yang diberi hati namun ngelunjak dan semena-mena. Bangsa ini harus maju bukan malah mundur.
salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H