Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pornografi, Prostitusi, Larangan Anak Bawa HP, Utopis, atau Bentuk Kepanikan?

19 Februari 2016   08:05 Diperbarui: 19 Februari 2016   08:31 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teolog, berjalan-jalan ke pantai, di sana ia melihat anak kecil yang sedang membuat sumur mainan dan memindahkan air laut ke sumurnya. Ia heran dan bertanya, “Nak apa yang sedang kamu lakukan?”

“Memindahkan air laut ke sini....” sambil terus menciduk dan memindahkan air, tanpa peduli si penanya.

“Lho tidak mungkin, kan air laut sebanyak itu, dan ingin kamu masukkan ke sumurmu yang kecil itu,” jawab sang teolog yang sok tahu dengan bahasa orang tuanya.

“Apa bedanya dengan usahamu yang mau mengerti Tuhan Allah dengan kepalamu yang kecil itu?” jawabnya sambil pergi.

Beberapa saat lalu media heboh dengan pemberitaan soal prostitusi kelas atas, artis, model, dan mengenai tarif yang super heboh itu. Kisah yang terlupa, dan kini kembali dikagetkan dengan perihal Kalijodo yang mau tidak mau berkaitan dengan bisnis paling tua ini. Di waktu yang sama, ada persoalan pornografi yang menjadi persoalan kemenkominfo yang hendak mengatasi dengan berbagai cara mengenai pornografi. Permasalahan yang saling membelit dan terkait. Tidak jauh-jauh, ide ibu menteri yang mengedarkan larangan anak-anak sekolah membawa hp ke sekolah. Catatan yang tidak jauh dari pornografi juga.

Apakah itu efektif, berdaya guna, dan bisa terlaksana, atau hanya memadamkan rumah kebakaran dengan ditiup seperti lilin ulang tahun?

Prostitusi

Kejahatan setua sejarah manusia. Begitu banyak persoalan, latar belakang, pendukung, dan hal-hal yang pelik untuk diurus. Berapa saja yang dengan rela masuk ke dunia ini, dengan alasannya. Ada pula yang karena penjualan manusia. Rantai ekonomi yang demikian banyak bergelut di sana, pelayan, penjual makanan-minuman, penyedia kamar, toko perlengkapan dunia ini, tukang kredit, jasa keamanan, parkir, dan entah berapa banyak lagi yang bisa disebutkan. Persoalan germo sebagai agen, si konsumen yang tidak pernah bisa dijerat hukum, pelakunya dari semua kalangan, dan tidak bisa dilepaskan soal penegak hukum pun bisa terlibat secara dalam di sana.

Apa bisa dihapuskan seperti permintaan menag? Jawabannya adalah seperti anak kecil dalam ilustrasi di atas. Mau apa? pelaku utama dalam hal ini, PSK, apa mau bersusah payah untuk kerja keras misalnya menjadi buruh pabrik. Oke bisa satu atau dua, namun pernah terpikir tidak, semalam kerja lama mereka menjadi gaji sebulan dengan kerja yang jauh lebih susah. Apakah pembinaan spiritual dengan konsep dosa bisa selesai?

Hukum ekonomi ada di sini, bagaimana ada tawaran karena ada juga permintaan, dalam banyak aspek soal jual beli ataupun persoalan pelacurannya.  Ada timbalbalik yang akan saling mendukung untuk tetap bertahan. Bisnis yang sangat menjanjikan dan lebih kecil risiko serta kerja keras tidak perlu berlebihan, uang jelas banyak, karena akan ada pula judi, miras, dan kawan-kawannya.

Pornografi

UU lucu bin aneh sekian lama tercipta. Aakah berubah? Menteri kemarin yang gencar sekali mau menutup, dia sendiri malah menyukai  salah satu situs pornografi juga, atau koleganya nonton di gedung dewan yang terhormat. Apa yang terjadi di permukaan itu jauh lebih kecil, sangat tidak sebanding dengan yang ada di bawah permukaan. Satu ditutup, seribu yang terbuka. Belum lagi klasifikasi dan batasan yang jelas dan akan selalu berubah menurut  zaman. Ini bukan soal optimis atau pesimis, namun realistis. Apa yang bisa dilakukan?

Pornografi berbicara masalah kekuatan dan itu ada di bidang iman dan moral pribadi, negara sulit untuk mengatur lebih jauh. Apa bedanya dengan KB zaman orba yang diintervensi pemerintah, sehingga urusan domestik kamar paling privat pun bisa dibaca di kantor desa.

Larangan Siswa Membawa HP ke sekolah

Ide baik, namun tidak sesederhana di atas kertas. Banyak keberatan dan nilai positif yang  bisa berlembar-lembar jika hendak didaftar. Memang banyak pula kesulitan, bagaimana anak yang lebih asyik main hp daripada belajar, berinteraksi dengan rekan, dan abai akan tanggung jawabnya di sekolah, itu sekelumit catatan kekurangannya.

 

Ketiga hal tersebut bisa menjadi satu persoalan besar yang seolah hanya utopis, atau idealis saja untuk mengatakan aturan sebagai penyelesaian.  Apakah larangan, penghapusan, upaya blokir itu sebuah solusi? Atau hanya reaksi?

Selama ini hanya bereaksi atas sebuah peristiwa atau kejadian. Belum menjadi solusi jitu atas permasalahan yang ada. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah, selain menutupi, atau mengalihkan persoalan. Sepakat bahwa nilai moral dan etis itu di atas segalanya, namun realistis juga bagian dari moral.

Minimal apa yang bisa dilakukan? Keteladan dan pendidikan moral dengan lebih baik lagi, baik di sekolah, rumah, dan lingkungan. Bagaimana mau berubah ketika pimpinan saja berbuat  keburukan berkaitan dengan itu semua kog. Baik pornografi, prostitusi, dan penyalahgunaan hp. Dari atas sana contoh itu jelas ada dan ditampilkan dengan vulgar.

Ada yang bisa tidak terlibat, dan ada yang bisa berubah, itu adalah harapan adanya perubahan. Ada satu saja yang berbalik arah dan menjadi baik, tentu menjadi kekuatan dan harapan bukan justru melihat yang kembali lagi sebagai pokok penilaian. Kita bisa menilai, bagaimana dari 100  itu, satu yang kembali dan berubah menjadi baik, lebih baik daripada 100 semuanya tidak berubah. Sering kita fokus pada 99 yang gagal, perlu diubah, dan syukur atas yang satu tersebut.

Pendidikan moral akan membuat orang memilih yang terbaik bukan yang buruk. Kita bisa saja tidak akan melirik pornografi dan prostitusi ketika tahu dengan baik bahwa hal itu buruk. Selama ini fokus kita hanya larangan-larangan yang tidak efektif sedangkan contoh demikian masif terpampang dengan gamblang. Hukuman sosial juga masih lemah, sehingga pelaku dua ranah ini malah lebih dihargai, karena materi bukan perilaku. Ini ranah moral, bukan semata hukum.

 

Persoalan yang demikian besar dan kompleks, tidak sesederhana dan semudah membalikkan telapak tangan dengan peraturan atau larangan dan semua bim salabim selesai. Tidak mudah bukan berarti tidak bisa, ada harapan yang bisa dilakukan dan tentu patut dicoba. Tidak bisa ideal ya paling tidak realistis bahwa ada perubahan tentunya.

 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun