Ikut prihatin atas berita duka yang menimpa korps Polisi Republik Indonesia beberapa waktu terakhir, teristimewa bagi keluarga korban. Kedua selamat atas capaian, terutama berkaitan dengan teroris beberapa saat lalu.
Capaian Densus 88 sangat patut mendapat apresiasi tinggi. Sayang belum diikuti dengan yang lain, terutama penanganan korupsi yang hidup segan matipun tak mau. Hasil yang begitu-begitu saja.
Beberapa saat ini, banyak dilaporkan oleh media, beberapa Bhayangkara muda yang bunuh diri dengan berbagai alasan. Ada yang patah hati dan juga yang karena tidak tahan sakit yang berkepanjangan. Aneh dan lucu berkaitan dengan seleksi. Bagaimana seleksi psikologi dari para polisi muda ini bisa demikian tidak tahan akan tekanan. Ini masih sangat-sangat muda, usia 23-an, dan sedang bangga akan diri dan kerjanya, harus melakukan tindakan begini. Tidak heran ketika takut dikeroyok bisa berbuat yang konyol dan di luar kendali, misalnya malah menjadi agen dari gembong narkoba. Baru saja PN di Jatim menjatuhkan hukuman mati bagi polisi yang telah ratusan kali mengungkap kasus narkoba. Eh malah jatuh di mana ia melakukan aksi heroiknya.
Kaget dan tidak siap dengan gaya hidup di usia masih dini
Lulusan SMA ribuan yang mengantre untuk masuk secaba dan Akpol, demi karir yang keren dan gagah, jaminan masa depan ada di tangan. Usia 18 bagi Bharada dan Bripda, dan kisaran 22-23 bagi Ipda, dengan gaji yang saat ini termasuk fantastis bisa shock dan kaget. Belum lagi penghargaan akan seragam mereka yang menaikan derajad yang sangat tinggi. Tidak heran banyak yang tongkrong di bar, klub malam, dan gaya hidup hedonis yang telah mampu mereka hidupi. Narkoba, miras, minimal rokok lah telah menjadi bagian tak terpisahkan. Tidak heran beberapa kali bahkan ada videonya di medsos, polisi sedang pesta napza, bagaimana mereka yang harus membasmi malah sudah terkooptasi.
Tekanan yang sangat tinggi antara idealisme dan fakta yang ada.
Tekanan kerja, bahkan ancaman sangat tinggi termasuk nyawa mereka, usia mereka yang masih idealis, dan berpikir mengenai hal-hal yang seharusnya. Kenyataan yang ada di tempat kerja tentu tidak sebagaimana mereka bayangkan. Gap antara yang seharusnya dan yang senyatanya membuat mereka tegang dan bisa menjadi persoalan. Pekerjaan yang sangat membanggakan ternyata berkaitan dengan menyabung nyawa dalam arti yang sesungguhnya ataupun kiasan ketika mengurus hal yang konflik kepentingan, soal korup atau kolusi.
Tidak heran banyak kerawanan dan menghasilkan polisi-polisi yang sering melanggar aturan, tidak disiplin, justru terlibat dalam perilaku kriminal, berkelahi dengan kesatuan lain. Jangan lagi dikataan sebagai perilaku oknum, namun harus ada penelitian dari kepolisian sebagai hasil evaluasi diri. Sangat tidak adil bagi yang berprestasi harus dirusak oleh perilaku buruk yang ikut menurunkan citra mereka.
Kerja yang tinggi dalam tekanan harus dikenalkan sejak pendidikan, sehingga mereka bisa mengatasi itu ketika telah bekerja di lapangan. Sejak awal mereka telah tahu risiko dan apa yang menjadi tanggaung jawab mereka memang demikian. pendampingan oleh senior bukan sebagai atasan sangat penting. Relasi atasan bawahan dan birokrasi kepangkatan di kepolisian sangat rentan menambah beban susah untuk bisa berbagi.
Manusia itu terbatas. Sekeras apapun tetap punya hati dan perasaan. Menghadapi berbagai hal dalam kinerja mereka sangat mungkin mereka tertekan. Pelampiasan dan penyaluran itu menjadi penting dan sangat menentukan, sehingga tidak menjadi cari perhatian, dengan kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan ujungnya bunuh diri.
Pendampingan dan pendidikan terus menerus, menyadari risiko kerja yang keras dan sangat berbahaya, tentu perlu menjadi kesadaran sejak awal sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan di dalam jiwa bhayangkara. Test psikologi lebih ketat dan rumor soal suap bisa ditekan sehingga tidak melahirkan kejadian tragis yang mohon maaf, sangat memalukan, seperti pesta narkoba, tawuran, dan sejenisnya.