Sebenarnya mau menunggu tudingan di balik kasus kekerasan dalam kantor, eh gak ada, jadinya tulis sendiri. Meskipun hanya dongeng namun ini sungguh terjadi, sebagian yang lain tidak.
Sebuah peristiwa besar menghebohkan negeri dongeng, ketika salah satu punggawa kerajaan Kura-Kura Hijau, dilaporkan ke pihak pamong praja kerajaan, dengan tuduhan penganiayaan yang menyebabkan netra sang putri yang menjadi cantrik di gedung hijau itu bengkak dan merah.
Aneh bin ajaib sejak awal sebenarnya, Raden Masinton ini dari kelompok kerbau namun mengangkat cantrik dari kelompok kapal. Meskipun sobatan, tetap saja aroma persaingan dan mengalahkan cantrik dari kelompok kerbau terpasung. Konon khabarnya kekerasan dan pemukulan ini bukan yang pertama. Kejadian yang lampau sabak sang cantrik pernah dibanting, dimaki-maki, dan dipepetkan ke papan dinding asrama perguruannya.
Nyantrik memang sebagai sarana belajar sambil melakukan dan itu penting. Apa juga dengan dipithing segala, jangan-jangan dibanting pula. Kalau begitu ngeri cara belajar dan mendaki karir di gedung kura-kura itu.
Siapa saja bisa dituduh melakukan rekayasa dan konspirasi melihat gaya asal jeplak kader kerbau ini. Soal bahan pakan ternak yang makin mahal, sehingga kuda, tunggangan mereka akan kena efeknya juga berteriak miring bertentangan dengan Sang Raja. Dengan Maha Patih juga menggila saat berani menantang untuk menjerat sang anak emas Maha Patih. Raden Semar yang menjadi bagian wara-wara di kerajaan itu pun kena tantangannya. Meskipun ia telah meminta maaf.
Raden Masintan ini memang masih muda, perlu banyak belajar tatakrama dalam berpolitik. Berbeda dalam berpolitik ini tentu saja bisa dimaknai dengan berbagai warna, bukan hitam dan putih saja. Memang tidak ada abu-abu, hitam muda memang tidak ada. Dan ia dengan kemudaannya ternyata lepas dalam memaknai perbedaan itu. Atau kecewa karena tidak menjadi salah satu tumenggung? Melihat kinerjanya yang lebih banyak mulut, dan akhirnya tangan ini, makin jelas kalau ia memang tidak bakat, tidak cakap, dan tidak pantas menjadi tumenggung.
Memannya kalau muda terus bisa seenaknya kepada atasan, meskipun secara hukum setara, namun dalam urusan birokrasi tentu semua sudah tahu. Cara mengkritik, cara menyampaikan masukan ada etika yang perlu dipakai sehingga tidak mmenjadi bumerang sendiri. Belum lagi kepada cantrik sendirian, perempuan, katanya mabuk lagi, malah dipukuli.
Konspirasi? Ah gak mungkin lah, memang Raden Masintan ini siapa harus penggede, bahkan memang gede badannya juga turun ikut cawe-cawe? Ini akibat perbuatannya sendiri. Merasa aman, melakukan banyak hal dengan bebas, eh malah kena pada hal yang sebenarnya sepele.
Angin yang membuat jatuh bukan angin badai, justru angin sepoi-sepoi yang membuat terbuai dan tidur. Adanya angin badai membuat tetap waspada, berpegangan, mengikat diri, dan banyak cara untuk bertahan.
Menantang Maharaja saja tidak takut dan merasa jauh lebih hebat. Melahap Mahapatih yang dinilai seolah teman main congklak, menghadik pemimpin kelompok sebelah seperti mengusik abdinya yang dirasa mengganggunya.
Banyak kaum muda di kerajaan Kura-Kura Hijau, sayangnya telah terbuai dengan kenikmatan kuasa dan kursi empuk jadi lupa daratan. Ada yang dulu ikut menjatuhkan raja lalim di masa lalu, eh sekarang lebih tengil daripada yang dijatuhkan. Aroma nikmat kuasa dan empuk kursi jadi penyebab amnesia akut bagi beberapa pribadi yang kaget sudah ada di sana.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H