Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pecinta, Pembenci dan Penjilat

27 Januari 2016   15:57 Diperbarui: 27 Januari 2016   16:22 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pra pileg, pilpresm dan post keduanya, makin terpisahkan dengan jelas kutubnya, ada pecinta, pembenci, dan penjilat bagi pemerintah.

Pecinta.

Berbagai versi, ada yang cinta buta, hingga apapun baik adanya meskipun ada noda, tidak lagi peduli. Pokoknya benar, tidak heran ada yang melabelinya dengan nabi. Tidak banyak memang, namun wajarlah namanya juga pecinta. Lihat saja pecinta model almarhum Gombloh yang menyatakan tai saja rasa coklat kan?

Proporsi dalam membela diperlukan agar bisa tetap berjalan di jalan yang benar. Berbahaya karena bisa melambungkan angan yang membuat keadaan tidak nyata. Kelompok sebelah makin akut dan kuat dalam merendahkan dengan hadirnya kelompok ini.

Ada pula pecinta yang realistis berani menyatakan kebenaran sekiranya memang tidak patut dilakukan. Kelompok ini yang mengawal dengan baik, kritik membangun, dan kritis dengan kebijakan yang tidak seharusnya diambil. Banyak pihak yang ada di sini, dari akademisi, politikus, hingga orang biasa. Perlu lebih banyak anggota di sini daripada kelompok yang di atas tersebut. Mencintai bukan berarti tidak melihat kesalahan yang ada atau membenarkan apapun yang dilakukan yang dicintai.

Pembenci

Sejatinya tidak banyak, hanya saja karena energi yang ada itu sangat besar, maka mereka terdengar nyaring dan selalu saja menelorkan kritik yang lebih mengarah ke hujatan. Ada artis, dosen, politikus, hingga orang biasa. Hanya karena jas, cara berjalan, hingga kebijakan untuk negara bisa menjadi bahasan tidak ada habis-habis. Soal kuliahnya dipersoalakan, apa kampusnya juga mau kalau bukan alumni kemudian mengklaim lulusan sana, mentang-mentang presiden kemudian bangga? Mosok kampus mikirnya begitu?

Pada dasarnya benci itu boleh, sah, dan tidak melanggar hukum, apalagi kalau sakit hati parah lagi kalau patah hati, wajar, asal tidak ajak-ajak orang lain. Kebencian yang diumbar da dipelihara dengan berbagai argumen dan dalih hanya demi memenuhi hasrat melampiaskan kekecewaan. Energi besar ini sebenarnya bisa dipakai dengan baik, mengubah energinya untuk hal-hal yang positif.

Coba saja, berapa waktu, tenaga, mungkin uang juga untuk ngulik sehingga ada bahan untuk mencela. Mencela bukan mengkritik, karena tidak ada unsur membangunnya. Tidak ada bantuan solutif yang dikatakan, selain mengatasnamakan masyarakat, kepentingan umum, dan sejenisnya.

Repotnya lagi juga menyerang orang yang dianggap pecintanya, padahal itu versi pembenci sendiri yang mengenakan kacamata hitam. Semua diukurkan dengan pandangannya sendiri yang memang hitam. Selalu negatif.

Penjilat.

Wah ini paling repot dan sangat berbahaya. Di depan seperti pecinta, sejatinya pembenci luar biasa. Perilaku jauh lebih jahat karena bisa sabotase program kerja dan melemparkannya ke pihak lain. Sama sekali bukan kawan yang baik, apalagi sikapnya berteman, memuji, namun mencemooh di balik badan yang hanya sejengkal saja dari yang dipujinya. Dan ini jauh lebih banyak jumlahnya. Mulai dari PNS golongan Ia hingga yang ada di sekitar istana, dari jalanan hingga tertinggi jabatan, ada model demikian.

Lebih berbahaya ketika yang berlaku demikian memiliki kekuasaan untuk memutuskan sesuatu. Ke depan ia menjilat sekaligus menghujat kalau ada kesempatan. Ke samping sesama kolega bisa memakannya dan memuntahkan sesuai kepentingan. Ke bawahan jelas akan menekan untuk mendongkrak nafsu eksistensinya sendiri. Daya rusaknya jaug lebih berbahaya dari pembenci.

Ketiga kelompok itu ada, nyata, eksis, dan berpengaruh bagi bangsa. Plus minus tentu ada, namun bagi yang netral dan bisa menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kritik membangun, obyektif, dan solutif tentu lebih penting bagi bangsa ini.

Terlalu banyak masalah yang ada, tidak perlu menambah dengan beban yang tidak perlu dan penting. Gegap gempita untuk mencintai dan merasa berjasa sebanding dengan yang membenci karena merasa tidak memiliki, seiring dengan yang terganjal kepentingannya dan kemudian berkamuflase untuk tampil apik namun menusuk dari belakang.

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun