Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar, Kampung Narkoba, di Antara Sikap Abai

26 Januari 2016   19:11 Diperbarui: 26 Januari 2016   19:45 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru, masih hangat, dan belum hilang dari peredaran, bagaimana hingar bingar mengenai Gafatar dan penggrebegan kampung narkoba yang membawa korban baik polisi ataupun para gembong narkoba ataupun pemakainya.

Gafatar menjadi pembicaraan tiada henti, dan berpuncak pada “pengusiran” dari tempat mereka selama ini hidup. Persoalan yang ada adalah secara sosiologis dan humanis, bagaimana mereka harus kembali hidup di daerah lama mereka. Mengenai sesat atau tidak atau menghimpun kekuatan lagi atau tidak bukan menjadi dasar tulisan ini. Mereka telah memutuskan untuk tinggal di tepat baru.

Bersama-sama dalam satu kampung baru yang mereka huni. Bagaimana selama ini tidak ada persoalan, mengapa tibag-tiba “meledak” dan menjadi “musuh bersama”? Memangnya selama ini tiba-tiba datang dan tidak apa-apa langusng terbentuk kampung baru? Ke mana selama ini  pembakar, pengamat, baik yang mendukung ataupun menolak? Bahwa di Kalimantan, kawasan itu sangat luas, kades, RT/RW, pak dukuh itu jauh benar, namun dengan kedatangan orang yang berjumah ratusan mau tidak mau tetap ada yang tahu. Sikap abai dan menjadi persoalan ketika sudah besar itu selalu saja terulang.

Bagaimana kehidupan lama yang harus dijalani lagi dengan label dan cap yang telah demikian heboh disematkan kepada mereka. Mungkin saja, keluarga terdekat bisa menerima dengan baik, bagaimana dengan masyarakat. mengembalikan ke tempat asal bisa menjadi menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Bukan persoalan mudah dan dengan begitu saja selesai.

Kampung narkoba, bukan hanya satu tempat, banyak tempat, dan itu pasti hilir mudik kendaraan bermotor tentu tidak sedikit. Ini  di tengah kota, ibukota negara lagi. Bagaimana, RT/RW, lurah, babinsa, polisi yang diperbantukan di kelurahan, lingkungn itu abai. Sangat tidak mungkin tidak tahu ada aktivitas seperti itu. Sikap abai, tidak peduli, merasa bukan urusan dan tanggung jawabnya, asal tidak mengganggu dan merugikan biar saja. Transaksi, jual beli, dan konsumsi di sana, buktinya ditemukan banyak bekas pesta ala narkoba di sebuah gudang kosong. Apakah tidak ada satu saja orang yang terusik dan melapor, atau melapor dan didiamkan saja oleh aparat penegak hukum?

Hal ini hanya contoh kecil, banyak lagi di sekitar kita, mulai kawasan kumuh, pedagang K-5, bangunan liar, kelompok kejahatan, dan banyak contoh yang bisa kita temukan dan sebutkan. Nada dasar yang sama, soal abai, tidak peduli, ramai di belakang, dan setelah kejadian mulai analisis demi analisis muncul dan heboh tidak karuan. Apa mungkin membangun satu rumah atau gubuk bisa membuat aliran sungai menjadi terhambat, satu masih diam saja, ketika sudah ratusan, baru teriak-teriak. Tidak jauh pula mengenai korupsi, mafia, suap, dan tetekk bengek di negara ini.

Penyelesaian selama ini memadamkan kebakaran yang telah membesar dan sangat terlambat padahal sudah tahu  bahwa api itu telah ada. Memadamkan kebakaran tentu jauh lebih sulit, apalagi tidak mau tahu mengenai alasan terjadinya kebakaran.

Sikap peduli dan waspada

Sikap abai sudah saatnya ditinggalkan dan perlu sikap peduli lingkungan, waspada dan cermat melihat lingkungan sekitar tanpa berlebihan. Ada hal yang melanggar aturan sejak awal dibenahi dan dillaporkan ke aparat yang terkait. Sikap dari aparat juga responsif bukan diam saja atau malah ditanya macam-macam yang membuat malas melapor. Persoalan biasanya budaya kita ini berlebihan, contoh, tahu bakso dikira bom di bandara, padahal yang membawa pemuda yang lugu, tentu berbeda kalau yang membawa itu ciri-cirinya sudah akrab dengan terorisme.

Aparat atau pejabat yang terkait memiliki kepekaan dalam melihat persoalan

Kepekaan dan naluri pelayanan akan membantu bagi penyelesaian potensi sehingga tidak menjadi aktual, yang tentu saja jauh lebih sulit ditangani. Sikap melayani dan melakukan tugas dengan baik bukan mencari keuntungan pribadi tentu banyak membantu. Contoh sungai dangkal, kemudian musim hujan datang dan banjir, memangnya dangkal itu baru kemarin sore? Padahal pejabatnya setiap hari lewat kog.

Rasa memiliki bangsa dan negara ini perlu ditingkatkan

Sikap nasionalis hanya hadir saat ada bencana nasional, seperti tsunami, bom teroris, dan sejenisnya, padahal tidak mesti seperti itu. Setiap hari setiap saat merasa bangsa ini milik kita membuat kita peduli, tidak tega untuk merusak atau terlibat dalam kerusakan bangsa ini. Rasa memiliki bukan hanya untuk keuntungan materi dan pribadi. Sikap bukan hanya milik pejabat dan penguasa, namun seluruh elemen bangsa ini, dari rakyat biasa hingga pejabat teras di puncak kekuasaan sana.

Tentu bukan lagi saatnya menyalahkan ini itu, namun bersama-sama mencegah adanya benih-benih ketidaktertiban bersama. Memadamkan api tentu lebih mudah daripada kebakaran, dan selama ini kebakaran itu meluluhlantakkan bangsa ini, termasuk teroris, narkoba, dan korupsi.

 

Salam Damai

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun