Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

TNI AU vs Kemenhub

7 Januari 2016   16:32 Diperbarui: 7 Januari 2016   16:32 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Awal 2016 ada yang janggal dengan adanya persoalan seragam yang diklaim oleh TNI AU. TNI-AU meminta kemenhub dan Kemenhukam untuk tidak mengenakan pakaian, atribut, dan kepangkatan sebagaimana militer. Sipil agar tahu keadaan itu bisa membayakan kalau ada “peperangan”, untuk membedakan mana sipil dan mana militer. Apa yang aneh dan sangat maaf, naif?

  • Sepakat bahwa memang sipil dan milter harus dipisahkan dengan tegas dan jelas, sehingga dengan mudah diketahui. Selama ini banyak yang aneh-aneh dan janggal. Militer mengenakan seragam untuk kepentingan diri, backing, centeng, atau tidak mau bayar dalam beberapa kasus. Ini lebih memalukan daripada kekhawatiran soal lembaga lain yang mengenakan.
  • Memang ada perang? Benar bahwa keadaan itu secara teori bisa, dan harus diantisipasi, salah satunya dengan sipil tidak mengenakan sebagaimana militer. Jika alasan ini yang digunakan sangatlah jauh dari apa yang seharusnya
  • Ini lembaga, dan masih baru, masih bisa dibicarakan, bagaimana dengan ormas, bahkan preman berkedok ormas, organisasi sayap partai, bahkan banyak sekolah juga mengenakan model-model demikian. Bagaimana ini tidak menjadi persoalan dan diam saja, jauh lebih membahayakan dan memalukan apa yang telah terjadi dan itu jauh lebih lama.
  • Stiker-stiker kecil di plat kendaraan, asesoris yang menunjukkan militer di mobil atau motor, itu juga lebih merugikan, karena itu untuk menggertak ketika mau ditertibkan oleh dephub dan polisi ketika di jalanan. Jelas sangat merugikan.
  • Aparat yang masih petentang-petenteng dengan KTA atau hanya bermodal rambut cepak masih banyak dan itu bukan soal seragam namun faktual ada dan bisa berbuat lebih buruk daripada “kesamaan” seragam.

Apa yang jauh lebih mendesak untuk dikelola adalah mental. Bagaimana orang lebih suka dengan apa yang berbau militer, pakaian, model potongan rambut, gaya berbicara, ingat sekarang hampir semua orang mengatakan “SIAP” kalau menjawab kesanggupan. Mengapa? Karena memang militer memberikan dan memiliki “status” khusus, aman, “bisa melakukan apa saja,” ditakuti. Hal ini bukan sekadar seragam saja, namun sikap mental.

Lebih mendesak adalah yang dikenakan para preman yang berkedok ormas dan berseragam ala militer, meskipun tidak menggunakan pangkat. Tentu lebih berbahaya daripada yang dikenakan lembaga negara atau kementrian. Demikian juga organisasi sayap milik parpol. Tidak sedikit yang sangat mirip bahkan identik dengan militer, hanya warnanya yang berbeda.

Pejabat negara lebih baik mengerem berkomentar ke media, lebih baik dibicarakan baik-baik di ruang lingkup yang terbatas antarlembaga. Media sebagai bentuk kontrol kadang malah menambah masalah, ketika yang mewartakan memiliki kepentingan. Ini bukan anti media dan transparansi tentunya.

Seragam itu bukan masalah utama, mental dan sikap batin jauh lebih penting dan berguna. Namun sama sekali tidak tersentuh. Perubahan sikap dan  perilaku jauh lebih mendesak dan penting.

Atau ada perselisihan kepentingan atau ada yang terusik dengan perilaku, antardua lembaga sehingga yang “reaksi” hanya TNI-AU? Angkatan Darat dan Laut, termasuk kepolisian sama sekali tidak terdengar. Kalau hanya warna sama-sama biru kog tidak juga. Mengapa ormas yang jauh lebih lama dan merugikan tidak disemprit? (Harapannya bukan demikian hanya demi kepentingan dan kebaikan berbangsa dan bernegara saja).

Negara ini sudah terlalu banyak masalah, tidak perlu ditambahi dengan persoalan baru yang sejatinya bukan masalah besar dan bisa diselesaikan dengan lebih bijaksana. Pihak memihak juga sering membawa masalah lebih besar yang tidak memberikan sarana untuk lebih baik di kemudian hari. Komunikasi tanpa pihak ketika tentu jauh lebih penting dan bermanfaat, tanpa merusak adanya keterbukaan terhadap media.

Media lebih kreatif dalam mengelola warta, dan lebih memberikan porsi yang positif daripada persoalan yang biasanya berkaitan dengan persaingan dan ketidaksepahaman. Memang berita-berita perselisihan dalam berbagai macam jenisnya dan tarafnya lebih menjual.

Masyarakat lebih dewasa dan bijaksana dalam mencerna info dan pemberitaan, lebih memilih yng positif daripada yang negatif, gosip, kabar perselisihan, perselingkuhan, dan persaingan tidak sehat lainnya.

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun