Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Usai Anggaran Siluman, Kini Pejabat Siluman, Apakah Negara Siluman juga?

28 November 2015   20:29 Diperbarui: 28 November 2015   20:43 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyebab atau akar masalah.

Kentut sekolah beasiswa, selalu beraroma suap hampir selalu tercium dengan menyengat namun suaranya hanya sayup-sayup. Siapa yang menyuap tentu tidak mau mengaku, malu dan madesu tentu tidak akan mau. Pahlawan kesiangan yang akan dibantai dengan keji tentunya. Yang gagal menyuap dan teriak tentu akan terlindas oleh sistem yang ada. Sejak pendidikan telah terbiasa dengan main suap, di tempat kerja mau apalagi kalau tidak mencari balik modal. Memang tidak semua dan harapannya ini hanya asumsi yang tidak terjadi.

Anak cerdas dan potensial telah tereliminir oleh kekayaan namun kemampuan nol. Model anak yang masuk dengan suap tentu mental juangnya rendah, nilai dan kemampuan tidak pula lebih dari rata-rata, padahal nantinya memegang jabatan penting dan berkuasa. Apa yang diharapkan? Tidak memiliki kemampuan, rendah daya juang dan saing, suka dengan koneksi dan suap.

Pantas saja selama ini gaji tinggi, masih korupsi, dan prestasi rendah. Kasihan negara ini membayar birokrat bobrok seperti itu. Mengerikan ketika ada pejabat yang model mengelabui atasan dan minta bayaran dan upeti dari bawahan. Lebih ngeri lagi kalau si kepala daerah tahu dan malah membuat sistem itu demikian. Harapan ke depan, peristiwa ini kalau benar analisis saya menjadi pembelajaran bersama sebagai negara untuk selektif dan benar-benar memiliki kemampuan dan pengabdian yang mumpuni. Pendidikan yang berorientasi pintar namun tidak bermoral telah menghasilkan budaya buruk seperti saat ini.

Demokrasi yang belum diikuti dengan kedewasaan dalam menghadapi perbedaan dan kekalahan membuat banyak pejabat yang tidak suka atau tidak memilih kepalanya bisa berbuat seenak-enaknya. Kalau ketahuan akan ngeles sebagai salah ketik namun kalau lolos berarti uang. Hal itu terjadi di daerah hingga kementrian. Saatnya bersih-bersih dan membentuk budaya dan birokrasi bersih. Menang dan kalah dialam demokrasi hal yang wajar. Kekalahan adalah sarana belajar untuk menjadi lebih baik di kemudian hari bukan dengan cara “merusak” baik fisik apalagi sistem dan birokrasi.

Sikap memiliki negara ini makin lemah. Lebih banyak yang mencari untung dari negara demi diri dan kelompok. Hal ini perlu dikikis agar makin baik negeri ini.

 

 

Salam Damai

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun