Setara Institut mengadakan survey di 94 kota dengan tingkat toleran dan paling tidak toleran di Indonesia. Melihat dan berdasar empat faktor sebagai acuan untuk menyatakan kota tersbut toleran maka di dapat hasil sebagai berikut:
Kota paling toleran sepuluh besar ialah: Pematang Siantar, Salatiga, Singkawang, Manado, dan Tual. Selain itu, ada juga Sibolga, Ambon, Sorong, Pontianak, dan Palangkaraya.
Kota yang paling tidak toleran menurut survey tersebut ialah: Bogor, Bekasi, Banda Aceh, Tangerang, Depok, Bandung, Serang, Mataram, Sukabumi, Banjar dan Tasikmalaya.
Menarik untuk dicermati ialah bahwa Pulau Jawa justru menyumbang kontribusi terbesar di sepuluh besar yang tidak toleran dan sebaliknya hanya sebiji yang paling toleran. Â Bukan berbicara mengenai sektarian dan kedaerahan, namun Jawa yang jauh segalanya, justru dalam toleransi malah sangat rendah.
Pulau Jawa:
Mau tidak mau, suka atau tidak suka bahwa pembangunan Jawa beberapa langkah di depan. Universitas dan sekolah-sekolah lebih tua dan berpengalaman. Orientasi pembangunan beberapa dekade lampau yang berpusat di Jawa ternyata belum memberikan kontribusi baik justru hakiki kehidupan Nusantara yang hidup dalam pluralitas yang tinggi. Pembangunan manusia ternyata tidak berbanding lurus dengan sarana dan prasana yang melimpah di sini.
Pluralitas sebagai vondasi bangsa tidak bisa disangkal. Jawa sebagai pusat pemerintahan telah menjadi magnet kedatangan dari orang-orang se Indonesia. Perjumpaan itu seharusnya membawa pada sikap toleransi, namun justru sebaliknya dan memberikan fakta yang cukup membuat miris, di mana yang seharusnya menjadi pionir malah sebaliknya.
Lebih ironis, Jakarta sebagai ibukota negara dan gerbang bagi mata dunia malah dikepung kota intoleran. Ada Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bandung juga berkontribusi dalam keadaan yang memprihatinkan ini.
 Mengapa perjumpaan itu justtu berbanding terbalik dengan keadaan yang ideal?
Fanatisme sempit akan keakuan. Kedaerahan yang belum membangun nasionalisme, selain yakin dan baik bagi suku sendiri, curiga akan menilai yang berbeda itu buruk dan salah.
Keberanian membuka diri melihat yang berbeda itu ada kebaikan dan nilai positif masih rendah, sehingga tidak ada pembangunan jati diri yang berwarna. Ketakutan karena dididik sejak dini homogen terpaksa dan menyalahi kodrat pada dasarnya.
Nasionalisme kita itu berbeda-beda tapi satu, bukan homogen yang sangat dipaksakan. Ironisnya justru ada di kota-kota besar dan modern.
Â
Salatiga
Satu-satunya kota di Pulau Jawa yang memberikan harapan bahwa masih ada kota  toleran di Indonesia khususnya Jawa. Salatiga sangat ditopang oleh UKSW yang menghadirkan mahasiswa dari seluruh pelosok Indonesia. Indonesia mini ini sejak awal memang sangat harmonis, dan keatangan mereka bukan merusak apa yang ada, justru menjadi daya dorong lebih tinggi akan jati diri toleran yang ada di Salatiga. Hampir tidak ada soal-soal gesekan agama yang ada di Salatiga. Hampir tidak ada masalah sosial, soal agama, dan ras yang terjadi di Salatiga. Budaya sendiri tidak kalah dan budaya pendatang tidak meniadakan dan justru membantu pembangunan karakter di Salatiga yang sejuk.
Kota kecil dengan dinamika ras dan agama yang beragam dan kuat masing-masing sehingga tidak saling meniadakan namun justru semakin menguatkan. Sosialitas yang baik dan hangat menjadi benteng bagi Salatiga untuk terbuka. Kondisi geografis perlintasan kota besar juga snagat mendukung keadaan harmonis dengan toleransinya.
Apa yang perlu dilakukan kota lain?
Sikap terbuka melihat perbedaan merupakan hal yang kodrati. Zaman modern tidak akan bisa hidp sendirian tanpa kedatangan dan interaksi dengan yang lain. Bangsa ini sejatinya telah mendarah daging dengan budaya toleran dan inkulturasi dari berbagai belahan dunia, dan tu diterima dengan tangan terbuka. Mengapa justru makin hari malah makin turun? Kesiapan melihat yang berbeda itu belum terkelola dengan baik.
Pendidikan dengan muatan lokal yang kuat dan memahami yang nasional, regional, dan global baik tentu akan menciptakan pribadi yang terbukan dan toleran. Toleransi itu pendidikan, pembiasaan, dan perjuangan. Itu semua bisa dicapai siapa saja dan di mana saja. Â Â
Â
Salam Damai
Sumber: Kompas.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI