Peristiwa di Paris layak untuk menjadi perhatian bagi Indonesia secara umum. Bagaimana tidak bahwa terorisme suka atau tidak masih sangat subur hidup di Indonesia. Berbagai kalangan mendukung aktivitas garis keras, apapun bentuknya. Anggapan bahwa radikalisme hanya bagi orang yang tidak berpengalaman dan berpendidikan, sama sekali tidak benar. Hampir semua kalangan ada yang masih memiliki kepercayaan demikian.
Persoalan sentimen sektarian sempit juga masih kuat, baik agama, suku, atau ras masih sumbu pendek yang sangat mudah tersulut hanya karena pemantik yang sangat sederhana. persoalan definisi saja bisa menjadi heboh luar biasa, hal ini bisa disaksikan di tempat kita berintekasi ini, yang begitu mudahnya “kacau” dan bisa menjadi “rival” yang berkepanjangan. Hal ini menandakan bahwa kita masih melihat beda itu salah dan sangat mudah dipakai oleh kelompok yang hendak mencari keuntungan.
Tolikara dan Aceh Singkil jelas-jelas bentuk dari model pemikiran radikalisme dan fanatisme sempit. Suka atau tidak ini masih kuat di antara kita. Ranah intelijen untuk mengelola dan bisa meminimalisir keadaan, bukan justru makin melebar apalagi berulang. Hal ini sangat besar pengaruhnya, dan melibatkan banyak orang, sangat ironis ketika intelijen sama sekali tidak bisa mengetahui sejak lebih dini dan ada upaya pencegahan.
Kasus di atas jauh lebih besar, dibandingkan tawuran antarkampung atau antaraparat. Hal yang tidak boleh dianggap sepele ketika benih-benih ini dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik. Tempat dan lahan yang sangat subur bagi tumbuh kembang terorisme.
Penembakan yang seolah perilaku orang iseng, pembunuhan demi pembunuhan yang tidak terselesaikan, begal yang sama sekali juga tidak ada ujungnya sekarang, selain terlupakan dengan kasus-kasus baru. Almarhum Akseyna, bagaimana kelanjutannya? Penembakan gedung kosong ESDM, dan yang terbaru “peledakan” gedung, pagi tadi.
Bang Yos tentu telah bekerja keras selama ini, sehingga kejadian tidak membesar patut memperoleh apresiasi. Meskipun dengan berat hati juga kita perlu melihat bahwa kinerjanya kalau mau bertahan harus bekerja lebih keras lagi.
Mengapa Pak Prabowo?
Pertama, sama-sama letnan jenderal, Pak Bowo merupakan salah satu jenderal termuda yang dimiliki Indonesia. Hal ini faktual bisa diartikan sebagai prajurit jempolan.
Kedua, jembatan kebencian dari pilpres yang masih kuat terasa. Secara politis, Bang Yos dan Pak Prabowo tentu lebih bertaji Pak Prabowo kali ini. Fadli Zon tentu akan terdiam kalau Pak Bowo ada di pemerintahan. Relasi antara Pak Bowo dan presiden sejatinya baik-baik saja, hanya para pengikutnya masih banyak yang belum bisa melihat itu.
Ketiga, keadaan yang ada tentu lebih kondusif karena tidak akan ada lagi gap di Senayan. Jalannya pemerintahan tentu lebih lancar dan mulus. Kita bisa elihat bagaimana alotnya RAPBN kemarin, dengan jalan ini, jauh lebih mudah tentunya.
Keempat, pemerintah tidak tersandera oleh partai pendukungnya yang justru lebih keras selama ini dalam hal-hal strategis. Posisi Geridra di posisi tiga jauh lebih menguntungkan tentu saja.
Kelima, kontribusi Pak Prabowo menjadi jelas dan tidak akan ada lagi ledekan yang mengatakan apa yang dia lakukan seperti selama ini. Kemampuannya di Kopasus tentu sangat menunjang di BIN yang memerlukan kejelian dan ketelitian sangat tinggi.
Pro dan kontra tentu akan terjadi. Soa rumor ’98 tentunya akan dikemukakan, besar mana menjadi kandidat Ka-BIN atau kandidat presiden? Tentu lebih tinggi dan besar presiden.
Bagaimana Bang Yos dan partainya, demi kepentingan negara yang lebih besar tentu Bang Yos dan partainya bisa diakomodasi di tempat lain. Tidak menjadi persoalan yang besar sejatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H