Nasdem yang menjadi bintang baru dalam pemilu lalu, mengalahkan saudara tuanya seperti PPP, PKPI, ataupun PBB, malah juga mempecundangi saudara kandungnya sesama barisan sakit hati Hanura. Peringkat delapan dari sepuluh parpol yang memiliki kursi di dewan, sebagai pemain baru tentu sudah lumayan, apalagi hanya berjarak ribuan suara dengan PKS di peringkat ketujuh.
Sejak menjadi ormas dengan nama yang sama serta memilih semboyan, Restorasi Indonesia, ada nuansa menjanjikan sebagai parpol baru. Sekolah legeslatif yang membekali calon anggota dewan sebelum memasuki lembaga yang sudah terkenal korup itu, menambah sebuah harapan baru yang baik.
Gonjang-ganjing gubernur non aktif, waktu itu gubernur Sumatera Utara Gatot dan istri keduanya, membuat keadaan sedikit berubah, ketika salah satu elitnya terkena baik langsung atau tidak langsung dalam kasus ini.langkah cepat menonaktifkan pejabat teras parpol ini, memberikan sikap yang berbeda di mana parpol lain akan menggunakan berbagai dalih dan menyatakan asas pra duga tak bersalah, Nasdem mengambil sikap yang berbeda dengan menonaktifkan dan tanpa memberikan bantuan hukum dengan alasan karena seorang pengacara. Masyarakat masih bisa melihat itu bukan lembaga parpol Nasdem, karena salah satu pejabatnya terlibat dalam lingkaran suap dalam kapasitasnya sebagai pengacara.
Gubernur Gatot dan istri menyatakan bertemu dengan petinggi Nasdem, dan dinyatakan oleh KPK dengan nada yang sama, bahwa ada pertemuan dengan petinggi Nasdem dalam kasus GPN. Arti yang sangat mendalam bahwa parpol makin tidak bisa lagi diharapkan, belum lagi dengan model pendekatan MK cara baru seperti sekarang ini.
Apa yang mendesak untuk dilakukan ialah pembuktian terbalik. Mengapa demikian? Ketika orang tidak bisa membuktikan harta kekayaannya dari mana, kejaksaan, KPK, dan kepolisian langsung bisa menelusuri asal-usulnya. Pelaku kejahatan tidak akan lagi bisa seenaknya, sedangkan penegak hukum kerja keras dan malah dituduh dan dihujat sebagai korup, sedang pelakunya bisa tertawa terbahak-bahak dan ikut mengajak untuk melumpuhkan penegakan hukum dengan uang mereka.
Penyederhanaan parpol. Parpol banyak menimbulkan politik beaya tinggi, dan menyebabkan banyaknya kepentingan terutama untuk bisa “membeli” suara. Berkaitan pula dengan kaderisasi yang tidak berjalan karena kalah dengan uang, rebutan orang potensial meskipun bukan karena kinerja, selain hanya popularitas di bidang lain. Penyederhanaan parpol akan sedikit membantu beaya tinggi menjadi bisa ditekan dan mendidik masyarakat menjadi lebih dewasa dalam politik.
Mau tidak mau parpol masih akan dikelola oleh orang-orang lama, yang masih bau dengan masa lalu, sedang generasi muda saja sudah ikut-ikutan latur dalam arus lama korupsi. Lihat saja beberapa eksponen 98 tidak jauh bedanya ketika masuk lingkaran kekuasaan, baik di legeslatif, yudikatif, dan eksekutif. Kesempatan emas untuk pengurus yang kisruh agar dipensiunkan sekaligus dengan partainya saja.
Ini bukan lagi soal oknum atau pelaku pribadi atau lepas dari partai, hal demikian hanya rasionalisasi akan perilaku jahat yang lepas dari keterlibatan partai atau lembaga. Tidak lagi bisa disangkal bahwa kebutuhan partai secara materi perlu banyak kalau mau menang dan berkuasa, tidak heran kalau para petugasnya banyak yang mencari obyekan di proyek baik dewan, pemerintahan, dan di manapun ada dana untuk bisa tetap eksis.
Keberanian membawa perubahan dalam bersikap soal korupsi bukan sebatas wacana namun tindak nyata, kalau perlu dalam revisi undang-undang dan keberanian mengusulkan adanya undang-undang pembuktian terbalik dan penyederhanaan parpol sangat mendesak kalau masih mau berubah menjadi lebih baik ke depannya.
Salam Damai
Sumber informasi dan inspirasi
Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H