Demo guru yang menuntut status PNS untuk perbaikan taraf hidup patut diapresiasi. Fenomena gunung es jauh lebih besar dan berat ada di balik itu. Persoalan guru yang melimpah ini tidak berdiri sendiri. Pemerintah telah menyatakan lima tahun ke depan, antara 2016-2019 akan mengangkat 439 ribu guru yang telah masuk database untuk menjadi PNS. Ini hanya salah satu solusi untuk kesejahteraan dan peluang menjadi guru, PNS.
Bangsa ini masih sering menyelesaikan masalah dengan masalah. Kita tentu masih ingat tahun 1990-an SPG ditutup karena membludaknya lulusan calon guru sedangkan formasi yang ada sangat kecil. Tidak heran banyak lulusan SPG yang beralih menjadi pekerja di sektor lain. Beberapa yang setia menunggu, antara keberuntungan dan adanya koneksi, ingat saat itu masuk PNS unsur koneksi dan uang lebih mengemuka, dan sekarang panen raya dengan sertifikasi.
Sertifikasi yang menjadikan guru tidak lagi profesi yang “memalukan”, namun setara dengan pegawai kantoran yang lain, tidak heran sekolah-sekolah sekarang lahan parkir seperti pasar dan pusat perbelanjaan, kalau sekolah dasar tentu milik guru. Gaji guru yang bisa menunjang gaya hidup guru tidak beda dengan pegawai bank, membuat fakultas keguruan menjadi primadona seperti teknik mesin, sipil, dan juga kedokteran. Gadis –gadis pun tidak melengos digodain anak FKIP atau ibu-ibu tidak gengsi lagi punya menantu guru.
Sertifikasi, antara harapan dan kenyataan.
Ide dasar sertifikasi guru adalah jangan sampai ada guru sebagaimana gambaran Iwan Fals dalam lagunya Oemar Bakrie. Kesejahteraan guru yang meningkat akan diikuti dengan kinerja yang makin baik karena konsentrasi tidak lagi berpikir soal kebutuhan namun mendidik dengan baik. Kegiatan belajar mengajar yang lebih berkualitas tentunya. Salah satunya peningkatan kualitas guru, yaitu semua harus lulusan sarjana. Apakah demikian adanya? Tidak. Pertama, sarjana, iya benar sarjana. Proses yang ada, apakah meningkatkan kualitas kemampuan mahasiswa yang guru ini? Pendidikan yang perlu dipertanyakan, belum lagi kampus, yang baru saja terungkap bahwa ada penjaualan ijazah padahal sudah lama terjadi. Skripsi yang membeli, perkuliahan yang tidak jelas dan aneka keanehan lainnya. Kedua, sertifikasi lebih baik adalah hadiah, dalam arti yang baik dan berkualitas langsung saja diberi, selama ini mendaftar dan kalau lolos dengan berbagai cara akan memperoleh sertifikat, sangat rawan manipulasi dan kongkalikong. Ketiga, penerima apakah benar telah mengubah cara mengajar, metode, dan kebiasaan mengajar mereka? Sama sekali tidak ada perubahan, menambah beban rekan yang belum menerima sertifikasi, setiap kali pemberkasan, mereka sibuk mengumpulkan dan menyusun berkas, KBM, terbengkalai, dan rekannya yang akan menjadi ban serep. Keempat, pernahkah ada evaluasi bagaimana kualitas pendidikan antara didikan guru bersertifikat dan tidak. Kalau gaya hidup, pakaian, tas, iya, jelas tampak. Kualitas? Laptop mungkin mampu membeli, namun mampu tidak mengoperasikan, apalagi menggunakan untuk mengajar dan membuat inovasi pengajaran.
Guru, Pengabdian atau Profesi?
Salah satu yang menjadi pokok banyaknya peminat keguruan jelas tunjangan sertifikasi. Ironis ketika berkaitan dengan uang, pengabdian bisa bergeser. Pekerjaan layak mendapatkan upah. Upah bukan segalanya dan menjadi tujuan. Guru-guru zaman dulu, ketika gaji masih pas-pasan justru menghasilkan produk yang berkualitas. Ketika berbicara profesi itu orientasinya adalah uang. Benar bahwa pengabdian itu tidak bisa dilepaskan dari gaji sebagai bagian hidup. Namun sayang ketika profesi itu melupakan pengabdian. Saya tidak menyalahkan demo guru honor, namun sistem yang diciptakan sangat buruk.
Jangan heran sepuluh tahun lagi, akan ada ledakan lulusan keguruan sebagaimana lulusan SPG di masa lalu. Salah satu sekolah tinggi keguruan di kota kecil yang hanya memiliki sekolah menengah pertama tidak ada lima belas, dan sekolah menengah atas tidak sampai 10, dan sekolah kejuruan negeri dan swasta sekitar lima memiliki seribu mahasiswa sekali angkatan. Ke mana mereka melakukan praktek mengajar? Paling-paling formalitas, berkelompok, siapa yang mau mengajar di depan kelas silakan, mau bersembunyi, jelas saja bisa. Sekali lagi, demo ini akan usai, namun masih ada persoalan yang menanti.
Distribusi tidak merata, juga menjadi persoalan. Bagaimana satu sekolah memiliki tiga empat guru dalam satu mata pelajaran, sehingga berebut jam minimal mengajar.
PNS menjadi gantungan harapan, karena gaji dan dana pensiun yang menjanjikan. Sekolah swasta yang belum besar tentu akan kesulitan memenuhi standard gaji yang menggirukan ini. Perlu subsidi seperti di zaman dulu, PNS yang diperbantukan di sana, tentu meringankan beban sekolah tersebut.
Perlu diingat peran swasta yang sudah bukak alas, pendidikan sekarang tersingkir karena minat siswa dan tenaga pengajar yang rendah. Politis agama sangat berkait dengan hal ini. Ini sepele namun melupakan sejarah tentu bukan ciri bangsa yang besar. Bijak dalam membuat kebijaksanaan yang lebih holistik, bukan sektarian.