Â
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya mengungkapkan kebakaran hutan yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia tidak lepas dari kebiasaan para petani yang membuka lahan dengan jalan pintas, yakni dengan membakar lahan. Hal ini dilakukan karena biaya untuk membuka lahan yang ramah lingkungan sangat mahal.
(Kompas.com, 7 September 2015)
Kepada Yth
Ibu Siti Nurbaya
Di Tempat
Â
Â
Dengan hormat,
Ibu Menteri yang terhormat saya sampaikan ikut prihatin sedalam-dalamnya atas keadaan yang terus menerus terjadi berkaitan dengan asap ini. Salut saya atas reaksi ibu yang harus pulang segera sedang dalam acara di luar negeri. Presiden dan jajaran yang langsung turun tangan juga patut memperoleh apresiasi bahwa hal ini sungguh-sungguh untuk di atasi.
Persoalan ini memaang bukan semata kesalahan atau tanggung jawab Ibu sendiri karena sekian lamanya selalu saja terulang, setiap kemarau hampir bisa dipastikan akan ada produksi asap yang berlebih-lebihan ini. Tentu ibu telah memetakan dengan baik penyebab dan alasan yang menjadikan kegiatan ini dipilih.
Murah, meriah, dan manfaat ganda dengan membakar tentu merupakan pilihan para pemilik modal untuk memilih cara membakar. Pertama pembakaran jelas murah untuk membersihkan hutan atau semak-semak yang begitu mahal dengan cara yang lain. Kedua, abu yang dihasilkan langusng menetralkan keasaman yang tingggi di daerah berawa yang biasanya asam.
Siapa pelaku pembakaran, kalau pelaku jelas saja mayarakat sekitar yang memiliki pamrih sekian lembar rupiah untuk hidup mereka. Perlu dibedakan antara pelaku dan otak di balik pembakaran ini, sehingga kita tidak hanya menangkapi anak negeri yang justru tersingkir dari tanah nenek moyang mereka oleh pemilik modal yang bisa saja bukan warga negara kita, bisa di Malayasia, yang tidak mau tanah mereka rusak, atau Singapura yang memang tidak memiliki lahan namun memiliki uang dan bisa berbisnis di sini dengan berbagai cara.
Petani sendiri sangat kecil kemungkinan memberikan dampak asap yang begitu tinggi. Saya pernah hidup dengan orang yang bertani dengan membakar kebun atau ladang, tidak menimbulkan apa-apa karena yang dibakar paling luas satu hektar pun tidak ada. Pembakaran lahan untuk pertanian tradisional hanya akan seperti tungku di pedesaan di rumah Tuhan Allah yang maha luas yang bernama dunia ini. Kedua, mereka kalau membakar terlalu luas tidak mungkin kenapa? Hasil mereka siapa yang akan membeli? Sangat tidak beralasan kalau petani biasa menimbulkan dampak yang sedemikian hebat.
Petani itu jalan saja hancur lebur karena truk bertonase besar yang tidak akan pernah mereka miliki, selain melihat mobil hilir mudik di sekitar mereka, sedang mereka hanya memperoleh receh yang tidak seberapa.
Mengapa menunjuk pemilik modal? Siapa yang memiliki dana untuk membakar sekian ribu bahkan ratus ribu hektar? Ini bukan tidak mengunakan modal, meskipun murah tetap saja memakai modal. Siapa yang bisa memanfaatkan jutaan hektar? Pasti pemodal besar, dan mereka pula yang memiliki pasar yang bisa menyerap hasil mereka.
Ibu Menteri yang terhormat, saya tahu bahwa hal ini tidak mungkin akan Ibu baca, namun satu yang pasti, kasihan kalau selalu saja petani yang menjadi tertuduh dan dikejar-kejar bahkan dihukum, sedang pemodalnya malah tetap menikmati hasil dari tanah yang membawa pembakar (pelaku lapangan) ini masuk penjara.
Â
Â
Hormat saya.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H