Hari-hari ini, Bangsa Indonesia, terutama Aceh sedang kedatangan banyak tamu tidak diundang. Pengungsi dari Myanmar dan Banglades. Manusia yang berjumlah ribuan tersebut merupakan korban dari kemanusiaan yang telah tumpul, bahkan mati. Artikel ini bukan hendak membahas soal alasan mereka meninggalkan negerinya dan terkatung-katung puluhan hari di lautan. Terapung empat bulan di lautan dengan bekal seadanya, bukan perkara kecil.
Hukuman Mati.
Indonesia baru saja mendapat sorotan yang begitu tajam dari dunia internasional soal pelaksanaan hukuma mati bagi pelaku perdagangan narkoba. Dari grup band hingga sekjen PBB, dari Australia hingga Brasilia, dari anak negeri baik yang telah menyatakan diri keluar hingga LSM bangsa sendiri, semua “membela” pelaku kriminal yang membawa korban, menurut presiden sehari 50 orang mati sia-sia, belum lagi keluarga yang harus telantar, kehabisan uang dan materi untuk mengusahakan kesembuhan, korban langsung tidak langsung saja bisa jutaan orang. Mengapa? Karena menjadi korban pelaku-pelaku yang mencari untung sendiri seperti mereka, sedang mereka pernah mengalami hidup enak dan melimpah harta, atas derita orang lain. “Pembelaan demi pembelaan”, upaya hukum demi upaya hukum yang mengakibatkan pemerintah harus menanggung beban hujatan banyak pihak masih memperoleh “perhatian.”
Pengungsi
Terusir atau keluar sendiri dari bangsanya. Mengenai alasan bisa beribu alasan dikemukakan dan menjadi dasar mereka. Sikap bangsa-bangsa yang hanya diam saja. Rohingnya, bukan satu-satunya, banyak manusia perahu di dunia ini. Sikap internasional seolah bisu karena apa? karena justru menjadi beban bukan menaikan pamor di mata bangsa lain. Bagaimana mereka menjadi korban berkali-kali, penipuan oleh agen, berjuang antara hidup dan mati, di lautan dengan bekal minim, perangkat transportasi seadannya, siksaan di kapal itu, tidak heran yang bisa mencapai daratan yang sebagian, dan lainnya mati sia-sia. Daratan yang disinggahipun belum tentu dengan ramah dan sukacita menerima, karena ongkos mahal yang harus dikeluarkan tentu saja. Pengusiran dan kembali berlayar di laut yang menyiksa dengan panasnya matahari di siang hari dan dinginnya malam dengan perlindungan seadannya.
Manusia menjadi serigala bagi yang lain tentu akan berlaku di sana. Rebutan bekal yang hanya sedikit tidak bisa dipungkiri. Mempertahankan hidup dengan mengalahkan yang lain akan menjadi pemandangan yang wajar dan alamiah. Cinta kasih menjadi pudar. Dan dunia diam saja, seolah hal itu tidak ada, kejadian yang sama sekali tidak menarik untuk diperbincangkan apalagi dibela.
Membandingkan nyawa memang sangat tidak bijaksana, namun pembelaan dari pelaku kriminal yang demikian gencar mengapa tidak juga berlaku bagi pengungsian ini? Mereka yang membela pembatalan hukuman mati berbicara soal hak hidup mengapa sekarang diam? Secara jumlah sangat tidak sebanding, mengenai keberadaan mereka di ujung tanduk kematian juga jauh berbeda.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H