[caption id="attachment_407045" align="aligncenter" width="620" caption="DPRD Jogjakarta/Aloysius Budi Kurniawan"][/caption]
April bulannya Kartini, tokoh fenomenal hampir seabad lalu, yang mendobrak ketidakberdayaan perempuan di antara dominasi laki-laki, meskipun beliau menikmati seperti hari ini. Sayang sekali perjuangan beliau terciderai oleh keputusan DPRD Yogyakarta yang menolah revisi Raperdais pasal 3 ayat 1 huruf m, yang menyatakan bahwa calon gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta harus menyertakan antara lain daftar rimayat hidup, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, ISTRI..... dengan demikian, calon gubernur dan wakil gubernur tentulah seorang laki-laki. (Kompas Cetak, 31 Mater 2015, hal. 21)
Gubernur Yogyakarta yang sekaligus adalah Raja Ngayogyakarta mengusulkan perubahan redaksional dengan menghilangkan kata ISTRI yang memberikan keleluasaan dan kebebasan termasuk perempuan untuk bisa menjadi calon gubernur dan wakli gubernur . Beliau sebagai gubernur dan sekaligus raja telah memberikan kesempatan kepada puteri-puteri terbaik menjadi pemimpin masa depan di Yogyakarta.
Dewan menyatakan bahwa harus laki-laki sebagai perwujudan keistimewaan Yogyakarta. Raja pasti akan menjadi gubernur(Detik.com). Menjadi pertanyaan ialah, keistimewaan ada pada keputusan, bahwa Raja yang sekaligus, mau tidak mau, otomatis menjadi gubernur, bukan istimewanya karena laki-laki gubernurnya. Kalau demikian seluruh Indonesia istimewa selain Banten karena gubernurnya adalah laki-laki.
Beberapa hal menjadi menarik dengan keputusan ini:
1.Gubernur menerima itu sebagai keputusan dewan. Sri Sultan sebagai gubernur tentu tidak perlu gaduh dan ngotot-ngototan mengenai hal ini, toh beliau tidak akan enak hati memperjuangkan kepentingan sendiri.
2.Di lain pihak, Sri Sultan adalah Raja, yang memiliki hak penuh untuk menentukan siapa yang akan menjadi suksesornya menjadi Raja, bisa pula Ratu, kebetulan beliau tidak memiliki putera, kecuali puteri-puteri. Kalau Sri Sultan menitahkan puteri sulung sebagai Ratu, bagaimana pengisian Gubernur yang mensyaratkan harus menyertakan riwayat ISTRI?
3.Gubernur dan puteri-puteri mendukung revisi raperdais, sedang adik-adik gubernur, tidak menghendaki adanya perubahan mengenai ISTRI. Kalau boleh mencurigai adanya agenda kekuasaan di sini. Puteri Gubernur tentu merasa lebih berhak dan sah secara hukum apapun sebagai penerus ayahnya, baik hukum positif ataupun darah sebagai warisan budaya. Adik-adik beliau memiliki kesempatan hanya pada ranah ini, memanfaatkan raperdais bias gender yang sangat tidak bermanfaat.
4.Seandainya Raja mangkat dan mengangkat puterinya sebagai ratu, Gubernur kosong, DPRD tidak bisa melantik karena terbentur aturan yang mereka buat sendiri.
5.Pewaris menyamping dalam hal ini adik-adik akan bisa menjadi Gubernur sesuai dengan Perdais, namun menjadi lucu dan aneh karena bertentangan dengan garis keturunan, yang ada di dalam keraton.
Seyogyanya dewan Yogyakarta selaku “rakyat/abdi” raja sendika dhawuh kepada raja sehingga tidak membuat kekacauan di kemudian hari. Keraton yang masih memberikan kontribusi secara besar bagi negara kesatuan ini, tinggal DIY, lainnya sudah mulai rontok, selain tinggal nama dan keraton saja. Bukan hendak merendahkan dan melecehkan keraton lain, namun yang masih masuk perpolitikan dan bernegara di era modern mau tidak mau akan menyebut Jogya. Jangan sampai Jogya terbelah seperti Saudara Tuanya, Solo yang berkepanjangan soal raja. Apalagi Yogya juga berkaitan dengan provinsi, tentu menjadi persoalan yang lebih luas lagi.
Salam Damai.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H