Kampung saya bersisian dengan Rawa Pening. Danau yang membawa kepala pening dengan enceng gondoknya. Namun hasil yang diumpankan kepada penduduk sekitar juga menggiurkan. Ikan mujahir, gabus, udang rawa kecil-kecil gurih, wader ijo dengan telornya yang heeemm.
Beberapa tahun yang lalu kalau membeli ikan, tinggal pilih, mau daging yang gurih menunggu penjual di depan rumah dan memilih mujahir, yang empuk, lembut, dan lezat pilih gabus. Mau membeli camilan dari rawa memilih penjuaI Â cethul, ikan anak ikan gabus yang digoreng dengan tepung heeemmm enak betul. Memilih telornya dan dagingnya biasa saja berarti menunggu wader ijo ikan ini dagingnya tidak segurih mujahir, tidak selembut dan selezat gabus, namun perutnya yang gembung dengan telor itu yang menjadi pilihan. Telor ikan segar yang gurih, kalau digoreng krispinya nampak jelas dan tekstur bulatan-bulatan lembut kuning itu jelas.
Tahun berganti, sekarang kalau membeli ikan wader ijo akan diketemukan perut yang tidak lagi gendut, karena telornya sudah diambil. Telor yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi diambil dan dijual terpisah.
Telor yang bergizi luar biasa ini pun menjadi ajang korupsi yang baru. Agar memiliki bobot yang lebih, karena keterbatasan stok sedang permintaan tinggi, telor ini ditambah kelapa agar gurihnya tidak jauh berbeda. Kelapa parut sudah menambah berat timbangan. Agar lebih kerasa telor dan tekstur kelapanya tertutupi, inovasi penambahan telor ayam sebagai penambah rasa dan timbangan.
Kreatifitas yang luar biasa oleh pedagang dan masyarakat kita. Sayangnya kreatifitas yang menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan pihak lain.
Salam Damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H