Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adies Adelia, Airin, dan Hukum di Indonesia

20 September 2014   16:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:08 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penetapan Adies sebagai tersangka di dalam pencucian uang yang dilakukan suaminya, membawa artis ini harus mendekam di penjara. Pencucian uang yang dikirim suami kepada istri, oleh pengacaran Adies dinilai aneh dan lucu, karena transfer dari suami kepada istri adalah kewajiban berkaitan juga dengan keagamaan. Suami berkewajiban memberikan nafkah untuk pasangannya.

Berangkat dari pemikiran transfer kepada istri bisa dinilai sebagai pencucian uang, mengapa begitu banyak, tersangka, terdakwa, dan bahkan terpidana, tidak ada satupun yang ditersangkakan juga. Istri Jendral Djoko, yang jelas-jelas dibelikan dan diberikan rumah apakah itu berbeda dengan kasus ini? Atau istri Akil Mochtar, yang jelas mengalir kepada rekening perusahaan atas nama istrinya mengapa juga tidak ditahan?

Paling ironis dan banyak merugikan sebenarnya adalah Airin, istri dari Wawan di mana tidak mugkin Airin tidak menerima pemberian suaminya sebagai suami-istri. Setiap Senin dan Kamis, seorang walikota malah mengunjungi suaminya di tahanan KPK, apakah kinerjanya bisa optimal?

Keadilan yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Baik dan akan memberikan efek jera luar biasa kalau itu diterapkan kepada pejabat negara, dibandingkan selibritas. Selibritas memang memiliki banyak penggemar, namun kesempatan merugikan bangsa dan negara tidak akan sebesar pejabat negara, baik politisi, birokrat, ataupun penegak hukum apapun profesinya. Penerapan pencucian uang untuk pasangan Jenderal Djoko, Dr. Akil, Airin selaku istri Wawan sekaligus walikota, akan memberikan efek jera luar biasa. istri Gayus yang bisa hamil dengan suami di tahanan saja bebas berkeliaran, uang belanja istri Gayus tentu akan lebih banyak.

Hukum harus memiliki efek untuk orang tidak mengulangi lagi. Namun apa yang terjadi di sini? Politik yang belum dewasa telah menjadikan hukum turun pada tataran demi kepentingan dan tawar menawar, sandra menyandra, dan balas jasa. Orang tidak takut mengulangi karena punya “tabungan budi” yang akan ditarik suatu waktu. Aku lindungi dalam kasus A, kamu akan aku tarik hutangmu ketika aku menghadapi kasus A2. Kamu memiliki kasus B, maka kamu tidak perlu kejam-kejam dengan kasus A, ku. Kapan akan jera ketika kekayaan hasil pencurian, pencucian uang itu masih bisa “membeli hukum, membeli tahanan?” Pasal, kamar di penjara masih bisa dibeli dengan hasil korupsinya. Korupsi yang tidak terbatas menjadikan para pelaku yang terjerat hukum tidak khawatir.

Apa yang perlu dilakukan oleh negara?

Keberanian menerapkan hukum yang berat dan setimpal. Hukuman seumur hidup tanpa remisi, pembebasan bersyarat, dan adanya grasi.

Keberanian pembuktian terbalik atas harta yang dimiliki. Harta yang ada pasti tidak sepenuhnya hasil korupsi, namun bisa dihabiskan dengan cara  pengemablian hasil korupsi dan dendanya. Denda bukan basa-basi namun tinggi.

Hukum sosial yang belum berjalan, di mana uangnya bisa membeli massa, pengacara “hebat”, bahkan membeli dan menjerat hukum dan perangkat hukum. Sejak dinyatakan tersangka, semua aset dibekukan dengan ketat dan keras.

Selalu berkelit dengan istilah HAM, memangnya mereka saat mengambil hak orang lain juga memikirkan HAM pihak lain? Korupsi sama sekali tidak menerapkan HAM, namun ketika terjerat  tindakannya sendiri mengapa mereka ingat HAM? Hak dan kewajiban harus seiring sejalan bukan demi kepentingan sendiri dan melupakan kewajibannya.

Penjara bersih dari alat komunikasi pribadi, sehingga mereka tidak bisa mengeluarkan pendapat yang bisa mengarahkan opini, bahwa mereka difitnah, dizolimi, dikambinghitamkan, dan semacamnya. Biarkan mereka membuktikan di pengadilan dan bersama perangkat peradilan yang jujur, bersih, dan obyektif membuktikan kebenaran.

Kedewasaan media, berani memboikot tersangka, yang sering berbohong, ataupun mengeluarkan pendapat hanya demi kepentingan sendiri. Mereka bukan selebritas, pejabat, namun masuk kategori kriminal. Dulu pelaku kriminal diberi nama singkatan, dengan mata ditutup garis hitam tebal, sekarang malah singkatan dipakai pejabat dan pembesar, sedang pelaku kriminal nama terang, tertawa-tawa, dan merasa hebat ditangkap aparat hukum.

Salam Damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun