Menkominfo yang telah menyandang gelar mantan menkominfo, selama ini paling getol dengan media sosial terutama twitter, demikian pula Bapak SBY. Mereka berdua lebih aktif menggunakan media ini dibandingkan menyampaikan pendapat secara langsung kepada rakyat. Baru-baru ini, bahkan Presiden (atau Ketum Demokrat?) SBY menyatakan pemikirannya lewat Youtube. Pengikut mereka jutaan, dan menteri ini seolah-olah bangga seperti Abg, yang dia katakan ada nada negatif, saat memberikan komentar tentang maraknya, bully kepada Bapak Presiden.
Wacana mematikan, meski secara tersamar, dilontarkan menteri yang sarat dengan kontroversi dibandingkan prestasi ini, dengan kicauannya, menanggapi penghujatan presiden. Kehendak samar, karena khawatir akan akibat yang didapat, kalau menyatakan dengan terang-terangan.
Pembesar KMP pernah menyebut-nyebut Korut sebagai negara totaliter, saat Indonesia hendak meng-euthanasia twitter, apakah ada kata atau frase yang tepat menggambarkannya. Karena apa? Twitter begitu dipuja, bahkan Bapak Presiden SBY melakukan pengundian untuk menentukan siapa yang hendak diikuti (folback). Twitter yang sama, dikutuk, bahkan hendak ditutup ketika memberikan ‘serangan’, bukan pujian dan pengikut yang setia.
Wajar rakyat lari menggunakan media sosial dan media alternatif, karena apa yang diaspirasikan lewat jalur resmi tidak ditanggapi dengan semestinya. Saluran berkarat, kotor, mampat, bukan karena tidak adanya saluran, namun saluran itu telah disumbat oleh kepentingan sesaat elit pengelola saluran. Akhirnya sama juga tidak ada saluran. Pengotor, sumbat, dan kotoran-kotoran yang sengaja diciptakan oleh pihak yang berkepentingan menjauhkan rakyat dengan kekuasaan yang takut dikontrol.
Satu-satunya saluran yang ada, dimiliki, dan telah terbukti membantu rakyat juga hendak diambil? Hak pilih dikebiri, hak berbicara juga hendak diberangus, nanti jangan-jangan Kompasiana yang keras, krisis, dan glidhis, akan juga dibredel?
SMS, oleh operator bisa gratis, namun karena banyak penipuan menggunakan sms, akhirnya sms gratis dilarang. Twitter selama ini gratis, karena mengganggu “kebebasan” penguasa untuk seenaknya berbuat, bisa-bisa akan dibuat berbayar.
Ditutup, berbayar, ataupun bagaimana caranya pemerintah hendak memisahkan rakyat dari elit yang tidak mau terganggu kepentingannya. Penguasa yang menjaga jarak dan memisahkan diri jauh-jauh dari rakyatnya patut dipertanyakan, mereka itu siapa dan apa bagi rakyat.
Bangsa berdaulat, namun serasa dipimpin oleh penjajah sehingga apa-apa tidak leluasa. Standar ganda yang dipakai oleh sekelompok elite, sehingga ketika mengguntungkan selalu dipakai, diekspose, dipuji-puji, namun saat tidak memberikan kontribusi, apalagi menyatakan kebenaran yang menohok kepentingan langsung dihujat, dimaki-maki, diancam, dan ‘dianggap’, musuh.
Sikap sebagai penguasa dan pembesar perlu diubah sehingga memiliki jiwa pengabdi dan pelayan bagi masyarakat. Rakyat lah yang harus dimuliakan, disejahterakan, dan diberikan segala yang dibutuhkan. Bukan sebaliknya, minta dilayani, semua fasilitas, semua kesempatan untuk pemimpin.
Standar ganda, dan main dua kaki, main topeng harus ditinggalkan. Jangan hanya mau enaknya dan memberikan beban pada pihak lain dalam hal ini rakyat.
Rakyat itu selalu ada, bukan hanya untuk kepentingan kampanye dan ada maunya saja diingat.
Mumpung masih ada kesempatan menggunakan media, sebelum mengeluarkan pendapat lewat media diambilalih oleh wakil rakyat.
Salam Damai...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H