Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Tradisi dan Teknologi

1 Oktober 2014   05:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:51 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Ajang olah raga rutin, baik Sea Games, yang sering dirajai oleh Indonesia di masa lalu, Asian Games yang dihiasai tradisi emas, serta Olimpiade yang masih perlu perjuangan untuk memperoleh nama. Berkali-kali Indonesia bisa menjadi jawara di kawasan Asia Tenggara, namun beberapa kali pelaksanaan ini prestasi kita bisa dikatakan menurun drastis. Negara-negara yang bukan kompetitor seperti Singapura, Vietnam, Laos mulai mengejar dan melampuai capaian kita. Dasa warsa yang teah lewat, hanya Thailand rival terberat, baru Malaysia kalau jadi tuan rumah kita sulit berkutik. Praktis hanya Indonesia dan Thailand yang silih berganti menjadi kampiun.

Namun sekarang, atlit Indonesia sering keteteran bahkan hanya dengan lawan sekelas Laos dan Philiphina. Apa yang terjadi?

Negara-negara lain berjuang untuk maju dan Indonesia puas akan tradisi dan masa lalu. Selalu saja didengung-dengungkan bagaimana kita memiliki Rudy Hartono yang juara All England tujuh kali berturut-turut dan belum ada yang memecahkan, tim sepak bola yang mampu menahan seri Uni Soviet sekian puluh tahun lalu, memiliki pelari kelas Asia melalui Mardi Lestari sekian puluh tahun lewat, memiliki atlit yang menyentuh Wimbledon, melalui Yayuk Basuki dan Angelic Wijaya. Namun kini? Negara lain berlomba mengembangkan olahraga mereka dengan mengundang pelatih dari luar negeri, bahkan banyak pelatih bulutangkis kita diminati negara-negara lain. Pembinaan usia dini yang berjenjang dengan sistem promosi dan degradasi yang jelas. Pengembangan dengan teknologi yang menunjang olah raga secara modern. Bagaimana otot-otot memiliki massa yang kuat menunjang sepanjang pertandingan atau perlombaan. Makanan yang baik bagi olahragawan, dan mana yang tidak menunjang kesehatan dan kebugaran. Kedisiplinan dan ketaatan pada aturan kepelatihan serta managemen membentuk atlit modern dan profesional.

Apa yang kita lakukan?

Berkutat dengan pemikiran masa depan yang belum menjanjikan selain sepakbola yang begitu menjanjikan seperti saat ini. Bidang lain belum bisa memberikan jaminan seindah sepak bola. Beberapa sudah menimbulkan harapan dan secercah titik terang masa depan bagus banyak dibidik orang tua,  pemuda, bahkan anak-anak. Urusan materi memegang peran penting.

Pembinaan berjenjang yang tidak jelas. Masih saja mengandalkan bakat. Padahal olah raga modern lebih menerapkan pembinaan dan latihan dengan bakat yang ada. Bakat bukan yang utama. Bakat yag baik, sering terabaikan karena ada intervensi kepentingan, politik, agama, kesukuan, dan tetek bengek bukan berkaitan dengan olah raga.

Perusahaan BUMN memberikan dana untuk pejabat dan mesin politik, coba dialihkan untuk riset dan pengembangan olah raga, harapan itu makin membuncah. Dulu akhir tahun 80’an dan 90’an olah raga berjaya karena ada PORKAS dan SDSB, yang menggelontorkan dana lumayan lancar dan besar.

Ketenaran sepak bola yang menyedot energi, materi, dan pemikiran sangat luar biasa, belum memberikan kontribusi positif bagi prestasi bangsa. Perlu keberanian untuk mulai berpaling dan menentukan sikap akan prioritas yang benar-benar sesuai dengan jati diri dan kemampuan mendasar bangsa kita. Seperti bulu tangkis, panahan, pencak silat, sepak takraw, angkat berat dan angkat besi di kelas-kelas prospektif, atletik dan bidang-bidang yang telah jaminan mutu akan prestasi.

Sepakbola dijadikan saja hiburan semata, bukan prestasi. Gelontoran dana, harga pemain yang luar biasa mahal, gegap gempita turnamen dan liga, namun bertolak belakang dengan prestasi, karena justru makin merosot dan turun dari waktu ke waktu.

Keterpihakan pemerintah pada bidang olah raga masih minim. Kalau menang saja mereka berebut merasa berjasa, kalau kalah nengok saja tidak. Padahal olah raga bukan semata juara, namun proses panjang yang berkesinambungan.

Keberanian menerapkan pembatasan usia peserta PON dan kejurnas, sehingga bukan pemain sekelas olimpiade masih berkompetisi setingkat PON. Pon bukan ajang gensi-gengsian antarprovinsi, sehingga bajak membajak atlit dengan iming-iming PNS dan bonus dengan menafikan proses pembinaan. Misalnya, PON atlit di bawah 20 tahun demikian juga untuk kejurnas, Sea Games usia 23, dan jenjang yang jelas bagi pembinaan dan kompetisi yang adil, transparan, serta lepas kepentingan selain olah raga itu sendiri.

Olah raga dengan jiwa sportivitas perlu dicamkan dengan baik, sehingga menular keseluruh masyarakat, sehingga mampu bersikap sportif dalam segala bidang kehidupan. Kebiasaan mencari kambing hitam, menular ke segala lini, politik, olah raga, pendidikan, dan banyak lagi yang kehilangan sikap mau menerima kemenagan dan kekalahan sebagai hal yang wajar.

Pembinaan berjenjang , transparan, dan adil akan memberikan jaminan kepada siapa saja yang berprestasi. Berprestasi akan mendapatkan penghargaan dan yang belum berprestasi akan terus berjuang, karena ada kepastian.

Orientasi ke depan bukan semata-mata bangga akan masa lalu. Masa depan itulah kehidupan dan masa lalu itu sejarah. Sejarah menjadi rujukan untuk melangkah bukan untuk menjadi acuan kebanggan semu. Harapan perlu digelorakan bukan bersikap pesimis.

Salam Damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun