Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencoba Mengerti Gaya Berpolitik Megawati

1 Oktober 2014   18:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:48 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengamat, para ahli, dan politisi sekarang ini sering menyatakan gaya berpolitik PDI-Perjuangan dan terutama Megawati terlalu kaku, tidakluwes, dan tidak mudah percaya.  Beberapa bukti menunjukkan hal itu. Demokrat marah ketika menjadi sasaran tembak masalah pemilukada. Alibi yang dinyatakan adalah seharusnya PDI-P juga bisa ikut walkout, maka kourum tidak akan memenuhi, dengan sendirinya tidak bisa menghasilkan keputusan apapun. Voting tidak sah, mufakat juga tidak bisa. Namun pilihanPDI-P tetap pada keputusannya untuk mengadakan pemungutan suara yang secara matematis jelas-jelas kalah.

Bukti lain, saat hendak mengajukan Jokowi menjadi capres, siapapun tidak boleh memiliki kepentingan, dalam hal ini adalah kursi menteri. Golkar dan Demokrat yang merasa tertolak mentah-mentah di dalam penjajagan itu. Berbeda ketika Jokowi mengumumkan kemungkinan bentuk kabinetnya yang masih ada 16 jatah bagi parpol. Seandainya, politik luwes yang dipraktekan, sikap permusuhan yang begitu tajam bisa sedikit teredam, karena koalisi berbeda secara signifikan.

Kekakuan paling tajam ditunjukkan dengan “perseteruan” dengan SBY. Berkali-kali SBY menunjukkan signal samar ataupun jelas dengan gamblang, masih saja respons yang sama.

Politik apalagi belum sehat akan menghasilkan dinamika yang luar biasa mengagetkan, saat ini memuji, lima detik kemudian telah merangkul lawan yang sangat berbeda ideologi, karena adanya kepentingan yang sama, kadang juga musuh bersama.

Mencoba mengerti pola pikir Ibu Mega

Kelahiran di tengah konflik peperangan menjadikan pribadi beliau kuat berkaitan dengan perjuangan ideologi. Namun bau kekerasan dan peperangan itu tetap meninggalkan luka pada sisi yang lain, apalagi seorang perempuan.

Perempuan dewasa yang sedang bereksplorasi dengan diri dan dunianya yang makin luas, dalam hal ini beliau memilih jalan dalam bidang politik harus terputus karena rezim berganti. Kekuasaan bapak sekaligus mentor terbaiknya dijungkalkan dengan cara yang demikian. Masa belajar yang terpotong, bahkan juga pendidikan formalnya.

Kemampuan yang makin terasah dan militan di bawah tekanan itu menemukan muaranya dengan perselisihan Kudatuli. Represi yang begitu kuat. Penolakan kepemimpinan yang legitim oleh penguasa, memberikan torehan luka baru.

Rezim tumbang, pemilu langsung dan menang, dengan kondisi jiwa yang demikian, euforia yang membumbung tinggi, dihempaskan oleh keadaan yang tidak biasa beliau hadapi dengan smart.

Politik bukan matematika, 1+1 pasti 2, ini bukan seperti kasus beberapa hari lalu, politik bisa apa saja, yang penting aku mendapatkan kursi dan kuasa. PDI-P, dan Jokowi perlu belajar lebih luwes, hati-hati dengan suasana “permusuhan” yang tercipta sehingga bukan malah menjadi medan pertempuran.

Ketegasan dalam ideologi itu harus, namun mengenai cara dan jalan bisa banyak pilihan. Pilihan jalan bukan melacurkan diri dan ideologi, hanya cara, yang tidak berpengaruh pada ideologis.

Salam Damai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun