Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bhineka Tunggal Ika Nasibmu Kini...

7 November 2014   00:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:26 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bangsa yang besar dibangun di atas perbedaan yang bisa dikelola dengan bijaksana, dewasa, dan saling menghormati. Penghormatan bukan semata wacana, hukum perundangan, atau jargon-jargon di dinding, di jalan, di ruang-ruang publik lainnya, namun juga dengan menjaga perasaan satu sama lain. Sikap menghargai dan menghormati tulus bukan demi kepentingan sesaat, politis, atau alasan apapun namun benar-benar keluar dari hati yang paling dalam. Ungkapan saya menghargai, menghormati, atau menyatakan dengan bahasa-bahasa kelompok tertentu agar kelihatan toleran, namun di belakang, pola pikir, dan sikap ketika di tempat lain berbeda.

Bapak Bangsa, mengamini para pendahulu yang menyadari keadaan bangsa ini memang kaya akan perbedaan. Perbedaan yang memperkaya, perbedaan yang menyusun negara kesatuan yang jauh lebih menghargai perbedaan. Perbedaan yang menyatukan, saling melengkapi dan memberi warna yang indah.

Perbedaan itu makin hari makin aneh, ketika apa yang dianggap baik, bagus, dan mendapat apresiasi dunia, justru dirusak oleh anak bangsa sendiri. Pluralisme yang mau tidak mau harus diterima, karena jelas ada dalam Dasar dan Lambang Negara, Bhineka Tunggal Ika. Hal itu makin ke sini makin hendak disingkirkan.

Beberapa contoh nyata bisa disebutkan, ketika bukan sebagai sama dengan masyarakat kebanyakan di kawasan itu  dianggap sebagai melanggar kepantasan dan dicari-carikan alasan untuk dihambat, dimusuhi, dan tidak boleh menjadi pemimpin, soal Gubernur Ahok, Lurah Susan, dan banyak lagi.

Ibadat suatu agama dianggap terlarang oleh sekelompok orang, dan negara abai terhadap masalah ini. Berbagai pertikaian kecil membesar karena negara tidak hadir untuk menyelesaikan dengan bijak, selain mendukung yang lebih keras berteriak dan mengacungkan pentungan dan pedang. Peristiwa Gereja Yasmin, Ahmadiyah, Syiah, dan banyak lagi lainnya. Semua hanya pengalihan masalah dan belum diselesaikan secara dewasa oleh negara.

Penghormatan yang telah berartus tahun hendak dirusak oleh orang kemarin sore karena tidak masak dalam mencerna dan menelaah perbedaan. Kudus, oleh Sunan Kudus telah menjadi contoh luar biasa toleransi dan hidup berdampingan. Itu bukan omongan dan wacana namun monumen bahkan hingga saat ini masih kokoh berdiri, masjid dengan menara bergaya Hindu. Jangan-jangan nanti juga hendak dihancurkan dengan alasan yang dicari-cari?!? Peninggalan agung Sunan Kudus untuk menghormati saudara Hindu sehingga tidak menyembelih dan mengkonsumsi sapi, beberapa tahun ini telah dianggap sepi dan sepele. Lebih menyedihkan dilakukan oleh disen muda yang menyatakan tidak ada salahnya menyembelih sapi. Ratusan tahun rintisan toleran dirusak pemikir muda mentah yang arogan, lupa akan sejarah dan penghargaan luhur para leluhur. Kali ini, kerbau yang diberi nama kyai bagong, milik keraton Solo dibunuh, dengana cara ditombak. Belum ada yang mengaku bertanggung jawab mengapa ada pembunuhan terhadap hewan yang tidak berdosa ini. Kalau dia mengganggu tanaman masyarakat sangat tidak masuk akal, melihat fenomena kyai slamet dengan keturunannya, termasuk kyai bagong tentunya dengan masyarakat Solo Raya. Alasan ini bisa disingkirkan. Perlu perhatian ketika itu berkaitan dengan agama dan kelompok tertentu. Kalau benar dengan demikian, berarti pemaksaan akan kepercayaan dan ibadat oleh sekelompok orang kepada orang atau kelompok  lain, makin menjadi.

Pembunuhan tidak bertanggung jawab ini, kalau tidak diselesaikan dengan setuntas-tuntasnya akan merembet ke hal-hal lain, patung-patung wayang  bisa dipastikan akan rawan perusakan karena dianggap menistakan agama tertentu. Kejadian seperti itu sudah ada di kota lain, dan lagi-lagi tidak diselesaikan dengan baik, selain memberikan angin segar kepada perusak, dengan alasan massa, atau bukti tidak cukup.

Lahir, besar, dan hidup di tanah yang pluralis, namun hatinya tidak bisa menerima itu sebagai bagian hidup tentu akan menyakitkan dan menyiksa. Mengapa terjadi? Karena pribadi tersebut tidak berani melihat kenyataan. Kenyataan bahwa ada perbedaan, fakta bahwa perbedaan itu Tuhan yang memberikan. Melihat ajaran agamanya sendiri tidak secara utuh dan menyeluruh, apalagi berani mempelajari  apa yang ada dalam ajaran saudaranya yang lain. Mengerti apa yang menjadi miliknya dan milik sesama akan memberikan rasa menghormati bukan justru merusak apa yang menjadi miliknya ataupun milik orang lain. Belajar holistik perlu menjadi perhatian, bukan sepotong-sepotong dan dijadikan dasar pengetahuan, celaka lagi kalau itu digunakan untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain.

Diskusi dan tukar pendapat sungguh penting dan utama daripada semata saling curiga dan melongok-longok yang belum tentu jelas. Datang dan lihat sendiri, dan akan tahu dengan lebih baik dan menyeluruh.

Salam Damai

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun