Pada tahun 1980-an Mui mengeluarkan fatwa mengenai mengucapkan selamat Natal sebagai sebuah perbuatan yang haram. Implikasi panjang, bahkan masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Saya sebagai orang yang merayakan Natal, hanya hendak mengatakan ada yang mengucapkan sebagai sauadara akan menjawab dengan terima kasih, dan kalau yang tidak ada yang mengucapkan  juga tidak menjadi masalah.
Ucapan sama dengan kepercayaan?
Bukan berpolemik soal boleh dan tidak berdasar fatwa MUI tersebut, namun hendak melihat hakikat ucapan selamat itu sendiri. Ucapan diberikan kepada orang yang merayakan oleh yang tidak merayakan. Itu yang saya tangkap, sebagai contoh, saya mengucapkan selamat ulang tahun, jelas-jelas saya tidak merayakan ulang tahun. Saya ikut bergembira dan mendoakan saudara yang merayakan ulang tahun semoga panjang umur dan sebagainya. Demikian pula selamat jalan, kita yang mengucapkan kepada orang lain yang hendak bepergian, kita yang tinggal mengucapkan selamat jalan kepada pihak lain dan tidak ikut serta. Selamat datang, akan diucapkan oleh pihak yang sudah ada terlebih dahulu kepada pihak yang baru datang, bukan sama-sama tiba dan mengucapkan selamat datang. Ucapan bela sungkawa, kita berikan kepada keluarga yang ditinggalkan anggota keluarganya, kita tidak kehilangan secara langsung, mendoakan saudara yang sedang kehilangan, dan sama sekali kita tidak akan kehilangan dan sedih sebagaimana keluarga yang sedang berduka. Ucapan selamat berbahagia bukan kita ikut menikah apalagi mengikuti malam pertama. Kita berbahagia bersama mempelai yang akan segera mengarungi hidup baru yang tentu patut disyukuri.
Ada dua pihak, satu sedang merayakan dan mengalami, dan pihak lain tidak mengalami atau sudah terlebih dahulu merayakan, atau memang tidak merayakannya. Sama sekali tidak mempengaruhi apa yang ada pada kedua belah pihak.
Pasti akan ada tanggapan mengenai selamat pagi, siang, sore, dan sebagainya itu sudah memiliki arti sebagai salam dan sapaan bukan sebagai ucapan selamat dalam konteks yang sama, sehingga bisa diucapkan oleh siapa saja dan kepada siapa saja. Hal ini berbeda.
Sekali lagi ini bukan hendak meminta ucapan atau berpolemik mengenai hal itu, namun ada hal-hal yang perlu pemikiran lagi mengenai maknanya, dan mengapa ucapan lain tidak menjadi persoalan, selain natal.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H