Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Aksi dan Reaksi dari Larangan Becak hingga Pembatasan Motor

18 Desember 2014   13:59 Diperbarui: 12 Januari 2018   15:24 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpuluh tahun lalu becak dilarang di Jakarta, terutama jalan-jalan utama, alasan pemerintah saat itu adalah becak merupakan kendaraan yang tidak manusiawi. 

Kemarin Jakarta juga mengadakan inovasi untuk membatasi gerak motor di beberapa ruas jalan protokol, alasan yang menjadi dasar memang berbeda dibandingkan becak, yaitu untuk mengurangi kepadatan jalan-jalan protokol.

Pro-kontra dan lebih kenceng teriakan ketidakadilan lah, diskriminasilah, atau ungkapan-ungkapan lainnya yang menyatakan keberatannya. Becak dilarang dan dijadikan rumah ikan di laut Jakarta waktu itu dendang yang sama mengemuka. 

Presiden kedua yang tegasnya minta ampun saja diteriaki apalagi hari-hari ini, di mana penjabat dihujat itu biasa.

Penghapusan bemo dan bajaj di jalan utama dan diarahkan ke perumahan-perumahan dan jalan-jalan kecil, juga menimbulkan reaksi yang besar. Semena-mena lah, mau makan apalah, dan banyak lagi ungkapan kekecewaan lainnya.

Pemakaian helm dulu susahnya minta ampun. Apa pun dijadikan alasan dan pembenar untuk tetap menjalankan budaya lama, yang bahkan sangat berisiko, awalnya hanya jalan-jalan tertentu ada kawasan wajib helm sekian tahun diujicobakan dan pada akhirnya dipaksakan dan sekarang hanya sebagian kecil saja yang masih belum memakai. 

Menggunakan helm ini merupakan proses panjang seperti saat ini, dulu masih ada helm proyek, yang hanya berguna untuk menjalankan peraturan bukan keamanan. Mengubah dari helm proyek atau helm kepik juga perlu waktu dan penolakan yang sama.

Bus harus tertutup pintunya, demo besar-besaran, mogok tidak mau jalan, sekarang saat kenyamanan menjadi yang utama, bis bukan dipaksakan untuk ditutup, tapi pasti tertutup karena pintunya bukan lagi sama dengan yang dulu. 

Kucing-kucingan dengan polisi, di depan polisi pintu ditutup, saat lewat dari posisi polisi berjaga kembali dibuka.

Idealnya kebijakan bukan dengan pemaksaan namun kesadaran. Kesadaran untuk berubah menuju kebaikan dan kepentingan umum yang lebih besar, keselamatan, dan gaya hidup yang lebih baik. 

Protes dan sikap menolak akan selalu terjadi, namun bukan dengan anarkhis, penolakan  bak babi buta, belum dilaksanakan saja sudah memberikan prediksi-prediksi dan penilaian yang laur biasa banyaknya, dan hampir semuanya negatif.

Kebiasaan untuk menolak terlebih dahulu tanpa mau melihat apa yang diperjuangkan dengan adanya kebijakan itu. 

Hidup bersama memang tidak akan mampu menyenangkan semua pihak, namun dalam kebersamaan adanya sikap saling memberikan kesempatan untuk menemukan titik temu demi kebaikan lebih besar, kesejahetaraan bersama, bukan kepentingan sesaat dan sekelompok semata.

Sudah waktunya taat pada kebijaksanaan dengan kritis, bukan menolak sebelum melihat hasilnya, namun menjalani dengan baik dan memberikan evaluasi secara positif, obyektif, dan berimbang. Bukan pula membela mati-matian meskipun sudah ada indikasi kebijakan itu salah dan sewenang-wenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun