Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Petrus hingga Hukuman Mati Terpidana Narkoba

16 Februari 2015   04:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:07 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menarik apa yang dinyatakan Jaksa Agung, kita sedang darurat narkoba, kita tidak ingin seperti Mexiko, Kolombia, dan negara lain yang sudah dikuasai oleh mafia narkoba, begitu kira-kira jawaban beliau berkaitan ancaman boikot Australia. Jawaban tegas dan lugas berhadapan dengan luar negeri yang sering mencari keuntungan sendiri.

Beberapa dasa warsa yang lalu, Soedomo kalau tidak salah waktu itu memegang jabatan Komkamtib, atau apa namanya yang tepat, menyatakan hal yang sama mengenai hal mafia. Kami tidak mau negara dikuasai mafia, cara yang tegas dipilih, yaitu dengan petrus atau pembunuhan misterius. Kala itu, preman dengan ciri banyak tato ditubuh, dirasia dan ditembak kemudian dibuang di mana-mana. Alasannya sebagai shock terapi. Komnas HAM belum ada, dan memang keadaan cukup mencekam, karena banyak penjahat-penjahat kelas kakap melarikan diri ke desa-desa. Siskamling digalakan untuk mencegah pelarian memilih desa-desa sebagai tempat persembunyian dan mencari makan.

Cara paling efektif memang, waktu itu, belum berbicara mengenai HAM, dan tentu semuanya diam saja. Gaya yang mirip dalam menghadapi fenomena yang tidak jauh berbeda pula tentunya. Waktu itu berhadapan dengan penjahat dari kelas bawah hingga atas, kali ini persoalan yang sama dalam lingkup khusus narkoba.

Semua berhadapan dengan keadaan darurat, era 80-an darurat keamanan dalam hal kriminalitas agar tidak ada mafia, yakuza, dan sejenisnya. Tahun 2015-an berhadapan dengan narkoba, biar tidak makin merajalela, hukuman mati. Cara yang kurang elegan dan termasuk sadis sebenarnya, namun cukup efektif memberikan efek jera. Tahun 2000an awal kita juga menderita dengan berbagai teror bom dari teroris, penangkapan demi penangkapan dan juga tembak di tempat memberikan nafas lega, minimal hingga sekarang jauh lebih tenang dari teror bom bunuh diri ataupun bom kiriman.

Tentu semua sepakat bahwa bukan manusia yang boleh menghentikan kehidupan. Tidak ada satu agama dan orang pun yang boleh mengambil nyawa seseorang dengan alasan apapun. Negara juga bukan berarti balas dendam dengan kejahatan yang dilakukan para pelaku, baik kriminal masa tahun 80-an, penangkapan dan tembak bagi teroris, ataupun hukuman mati bagi terpidana narkoba. Negara sedang mencoba menghentikan gerak gembong narkoba, dan cara itu yang dinilai oleh negara paling tepat. Ahli-ahli hukum dan HAM memang berkewajiban mencari cara lain yang lebihh baik dengan tidak melupakan kemampuan negara yang masih seperti ini.

Perlu juga kejutan besar untuk koruptor. Hukuman badan masih saja mereka senyam-senyum, uang mereka masih bisa “membeli” hukum dan perangkatnya. Pembuktian terbalik dan penyitaan harta benda yang setimpal atau berpuluh kali lipat nampaknya membuat mereka jerih. Di pusat  perbelanjaan ancaman pencurian membayar sepuluh kali lipat harga bisa menekan angka  pencurian, mengapa ini tidak dicoba? Orang maling/koruptor ini takut miskin, begitu dimiskinkan tentunya mereka benar-benar takut. Akan ada kontra dengan atas nama HAM lagi, ingat mereka maling juga menggerogoti HAM jauh lebih banyak orang. Lagi-lagi bukan balas dendam, cara yang bisa dilakukan saat ini, dan belum ada cara yang lebih efektif nampaknya. Pembuktian terbalik, soal asal-usul kekayaan, sebenarnya cukup mudah diterapkan menjadi sulit karena memang tidak ada kehendak baik dari para pemangku kebijakan di elit sana. Mengapa mereka sulit untuk mengubah ini? Karena mereka akan terjerat tali yang mereka buat sendiri. Negara akan menjadi baik saat kepentingan sendiri lebih kecil dibandingkan demi kepentingan negara dan kepentingan umum. Semua itu hari-hari ini masih terbalik dan hasilnya tentu kacau.

Salam Damai...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun