Akar permasalahan pendidikan masyarakat di negeri ini sungguh menentukan kualitas generasi penerus bangsa.
Generasi yang disekolah hanya secara otoriter dan dominan dicekoki data2 statis yg tidak boleh dibantah, terbukti menghasilkan generasi yg mudah dibohongi hoax, mudah percaya gossip2 murahan, dan bahkan generasi spt ini mudah terjerumus dalam permasalahan2 kehidupan masa depannya.Â
Inilah kenyataan pahit dalam masyarakat kita saat ini yang setiap hari bisa kita simak di berbagai media negeri ini.
Suap dan korupsi, hoax, pelecehan sexual, skandal kehamilan diluar nikah, penyalahgunaan narkoba maupun bisnis perdagangan  narkoba, pemerkosaan, perampokan, begal, rasisme, ujaran kebencian dan intimidasi yg marak dalam masyarakat ini, sebetulnya kalau kita mau jujur, diawali dalam pendidikan yang salah kaprah disekolah.
Saatnya dunia edukasi Indonesia belajar mendidik dgn cara baru, melatih anak didik berpikir secara independent dan kritis sebagai bekal menghadapi apapun didalam hidupnya.
Bekali anak utk berani mengutarakan pendapat yg berbeda dari gurunya, tanpa takut diintimidasi maupun di stigma sebagai pemberontak yg berkelakuan buruk.
Orangtua adalah pendidik utama dalam hidup anak2. Jangan mentang2 sudah mengirim anak ke sekolah maka melepas begitu saja seluruh tanggung jawab pendidikan ketangan guru2 tanpa kau awasi lagi.
Jangan gentar menanyakan system dan materi pengajaran  disekolah, jangan keder mempertanyakan kalau ada hal2 aneh terjadi disekolah. Dan jangan mundur meskipun di-stigmatisasi sebagai orangtua "resek" saat memperjuangkan hak anak2mu.
Â
Orangtua yang bertanggung jawab mendidik dan mempersenjatai anak utk berani "speak up" kalau ada ketidakadilan yg terjadi, dan bahkan tetap tegar "speak out" meski dianggap pemberontak, dimusuhi guru, di stigmatisasi sebagai murid yg tidak tunduk otoritas guru atau dicap sbg murid "resek" saat berdiri melawan abuse yg terjadi di kalangan sekolah, seperti misalnya:
1. PHYSICAL ABUSE berupa hukuman pukulan dr guru, guru yang justru mengadu domba dimana murid berprestasi disuruh memukuli murid yang tidak berprestasi, Â maupun pukulan dan perkelahian diantara teman.
2. SEXUAL ABUSE berupa sentuhan2 oleh guru ditempat yg intim dari murid, pelecehan, dan juga indikasi pergaulan bebas diantara murid maupun staf pengajar.
3. VERBAL ABUSE berupa bentakan, makian yg membodoh2kan murid dll, bully, intimidasi dan dominasi staf pengajar terhadap murid.
4. MONETARY ABUSE dimana pemaksaan kehendak dalam penggunaan keuangan dan penyimpangan dalam keuangan yang dimulai kecil2an seperti dari pengelolaan uang kas kelas.
Mungkin hal ini kelihatan sepele, hanya urusan beberapa ratus ribu rupiah, tapi kelak di kemudian hari bakal berdampak negatif pada cara murid mengelola keuangan perusahaan maupun negara saat memegang jabatan penting dan diserahi tanggungjawab mengelola budget jutaan / milyaran rupiah
5. SOCIAL ABUSE dimana staf pengajar bertindak sebagai sutradara yg dengan sengaja mengadu domba, menciptakan front grup2 favorit guru dan grup2 sasaran sentimen guru. Akibatnya murid dalam satu kelas dilanda intrik2 dan sikap permusuhan demi memperebutkan kasih seorang guru maupun favour wali kelas. Ini adalah politik divide et impera warisan penjajah Belanda, yang masih banyak diterapkan di bangku2 sekolah.
Hai guru2 didiklah anak2 yang dititipkan orangtua kepadamu dengan hati yang tulus!
Hai guru2, jangan lukai hati murid2 yang tulus berharap pada sikap keadilanmu.
Hai guru2, engkaulah cermin teladan bagi murid. Sekali kau cederai image itu, hancurlah hati mereka, remuklah jiwa mereka dan engkaulah yang harus mempertanggung-jawabkan kelalaianmu ini dihadapan Sang Pencipta mereka......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H