Mohon tunggu...
Paulina Sihaloho
Paulina Sihaloho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Aku pelajar SMA Bintang Timur, Pematang Siantar. Aku menulis untuk mengasah dan mempertajam pikiran, serta menjadikan hidupku lebih baik dari hari ke hari.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Yang Lucu dan Menarik di Rumah Kami

29 Oktober 2024   16:10 Diperbarui: 29 Oktober 2024   16:14 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Yang Lucu dan Menarik di Rumah Kami Berkaitan dengan Bahasa

Di rumah kami, di sebuah kampung di Simalungun, ada lucu-lucunya, menurutku. Yang paling lucu adalah: Mamakku kalau ngomong pakai bahasa Toba, bapakku pakai bahasa Simalungun.

Mamak nggak pernah berbicara sama bapak pakai bahasa Simalungun, dan sebaliknya, bapak nggak pernah berbicara sama mamak pakai bahasa Toba. Jadi mereka pakai bahasa masing-masing. Begitulah kehidupan mereka sehari-hari.

Selama ini kukira itu hal biasa-biasa saja, tetapi semakin kuperhatikan, ya, itu lucu...!

Kalau kami bertiga, aku dan kedua adekku, kami lebih cenderung berbahasa Simalungun daripada Toba. Jadi, mamak sendirian saja terus sepanjang waktu, yang berbahasa Toba di rumah. Kami semua ngertilah apa yang dikatakan mamak itu.

Aku beruntung juga mamak dan bapakku berbicara satu sama lain pakai bahasa yang berbeda karena aku pun jadi terbiasa dengan kedua bahasa mereka, di samping bahasa Indonesia.

Kami dari kecil memang dilatih berbahasa Indonesia. Kami otomatis bisa berbahasa Simalungun karena lingkungan di mana kami tinggal, di Simalungun.

Inang, ibu dari ayahku, lahir dan tinggal di Simalungun. Opungku yang laki-laki, suami dari Inang, lahir dan besar di Pulau Samosir. Jadi, Inang sering ke Samosir terutama kalau ada acara-acara adat yang bagi orang Batak wajib untuk hadir.

Kalau di Simalungun, di kampung di mana kami tinggal, Inang sehari-hari berbahasa Simalungun.

Inang kadang mengajakku ikut serta ke Pulau Samosir kalau ada acara adat di sana. Aku merasa lucu karena kalau di Samosir, Inang berbicara dalam bahasa Toba dengan gaya Simalungun. Itu kurasa cukup luculah.

Di Pulau Samosir itu, mereka tidak bisa berbahasa Simalungun, itu sebab Inang harus berbahasa Toba.

Pengguna bahasa Simalungun itu jauh lebih sedikit dibanding dengan pengguna bahasa Toba. Bahasa etnis seperti bahasa Simalungun ini akan lebih cepat punah dibanding dengan bahasa Toba. Kan sudah banyak juga di dunia bahasa-bahasa etnis yang punah kan?

Betapa Hebatnya Orang Tua Kita

Benar kan, betapa hebatnya orang tua kita karena merekalah yang pertama kali mengajarkan kita agar kita bisa berbicara, bisa menggunakan bahasa, bisa berkomunikasi dengan sesama manusia.

Saya sungguh takjub mengetahui bagaimana cerdas dan hebatnya anak-anak dari yang tidak bisa berbicara dan fasih mempergunakan sebuah bahasa bahkan lebih, sampai otomatis bisa mempergunakannya. Bagaimana mereka melakukannya ya? Sungguh luar biasa kan?

Nah, kalau anak-anak bayi, paling tidak sejak awal usia 2 tahun sudah mulai bisa berbicara dan akan lancar berbicara seiring dengan bertambahnya usia mereka, bagaimana mungkin setelah mereka masuk sekolah, terutama sejak masuk SD, kecerdasan itu seolah menghilang secara perlahan tapi pasti? Iya kan? Kenapa itu bisa terjadi ya?

Dari kemampuan anak-anak bayi belajar dan dalam waktu relatif singkat, mereka sudah bisa fasih berbicara dalam paling tidak bahasa ibu mereka. Begitu masuk TK/PAUD, anak-anak sudah lancar berbicara dan berkomunikasi.

Anak-anak yang masih balita itu begitu luar biasa cerdas. Begitu mereka masuk sekolah, kecerdasan itu seolah melenyap bersama bertambahnya usia dan waktu yang mereka lalui di sekolah.

Jadi sekolah itu sebenarnya apa? Akupun jadi heran.

Kalau di rumah saya belajar secara alami saja sehingga bisa dan terbiasa dengan tiga jenis bahasa: Indonesia, Simalungun dan Toba. Nah, kalau di sekolah, sudah sejak SMP kelas I saya belajar bahasa Inggris tapi, ya ampun..., apalah mau kubilang ya?

Hal yang membuatku bisa mengerti bahasa Inggris sejauh ini adalah karena aku berlatih menulis, mendengar, berbicara di rumah. Kalau hanya mengandalkan sekolah saja untuk mengajariku berbahasa Inggris, aku tak ada bedanya seperti murid-murid sebayaku kebanyakan, di mana bahasa Inggris itu adalah bahasa yang masih asing walau sudah dipelajari selama bertahun-tahun.

Aneh kali kurasa. Betul. Kalau dari dulu orang-orang yang masuk sekolah itu sudah belajar bahasa Inggris di sekolah tetapi selama puluhan tahun hasilnya adalah: mereka tidak fasih mempergunakannya, mengapa pola pembelajaran yang sama terus diulang-ulang? Apa nggak aneh itu? Anehlah!

Sebagian murid ada yang les, terutama kalau orang tua mereka mampu membayar. Itupun, tetapnya mereka juga nggak begitu lancar mempergunakan bahasa itu. Jadi, apanya lagi yang salah atau tidak tepat ya?***  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun