Â
Tumpukan Sampah Plastik di Kawasan Rawan Bencana
Aku anak Urung Panei, sekolah di Pematang Siantar. Jarak antara Urung Panei dengan Pematang Siantar lebih kurang 50 km.Â
Tak jauh dari Urung Panei, ada tempat yang kami orang kampung menamakannya "Pemandangan Indah". Indah betul pemandangan dari areal itu ke arah barat di bawah sana, hamparan Danau Toba. Di tempat ini beberapa tahun belakangan telah berdiri restoran dan warung di mana para wisatawan lokal dan luar negeri bisa singgah menikmati keindahan Danau Toba.Â
Sekitar 10 meter dari bangunan utama yang ada di areal ini, ada pelangkat kuning bertuliskan: ANDA MEMASUKI KAWASAN RAWAN BENCANA GERAKAN TANAH. KETERANGAN: 1. Apabila Terjadi Tanda-Tanda Longsor, Segera Hubungi Petinggi/Kepala Desa/Petugas Setempat. 2. Apabila Terjadi Keadaan Darurat, Maka Masyarakat Segera Menuju Ke Lokasi Aman/Titik Kumpul.
Pada bulan April tahun 2022, aku berada di Pemandangan Indah bersama keluarga. Kami tertarik membaca apa isi pelangkat kuning tersebut ketika kami duduk di sebuah warung tak jauh dari situ. Tak sengaja, ternyata, sampah-sampah plastik ditumpuk tak jauh dari pelangkat itu. Sampah itu tidak tampak dari warung tempat kami duduk-duduk sebelumnya.Â
Kalau kita naik kendaraan seperti mobil dan melintas tanpa berhenti atau menoleh ke bawah tak jauh dari pelangkat, kita juga tidak akan tahu kalau di bawah itu ada sampah non-organik atau berbagai macam plastik dan sampah rumah tangga/warung.Â
Pelangkat kuning itu berdiri di antara hutan di sisi sebelah barat dan jalan raya di sisi sebelah timurnya. Pelangkat ini berada di bagian tengah atau pinggang Gunung Simarjarunjung, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.Â
Kenapa Buang Sampah ke dalam Hutan?Â
Apa yang membuat orang bisa membuang sampah ke dalam hutan seperti yang terjadi di Gunung Simarjarunjung itu?Â
Kenapa mereka tidak melapor kepada petinggi negara/kepala desa/petugas setempat bagaimana cara mengelola sampah sehingga tidak bertumpuk di dalam hutan yang tanahnya rawan longsor? Kan sudah tersedia pemberitahuan di pelangkat itu bahwa warga boleh melapor kepada pihak-pihak terkait.
Menurutku sebagai anak Urung Panei dengan memperhatikan situasi di areal itu, warga yang tinggal dan menjalankan bisnis pariwisata di sana bisa jadi mengalami kesulitan bagaimana cara mengelola sampah, terutama yang non-organik. Jadinya, mereka sepertinya melakukan jalan pintas, buang sampah ke dalam jurang di hutan itu yang sepintas lalu memang tidak tampah kecuali kita berdiri di tepi jalan raya dan melihat ke bawah ke arah jurang di hutan itu.Â
Kesehatan dan keberlangsungan hidup termasuk menjaga hutan di negara kita adalah tanggung jawab bersama: masyarakat dan pemerintah. Itu sebab dari apa yang kubaca di pelangkat kuning itu, harusnya kan bisa warga di areal wisata itu bekerja sama dengan pemerintah sebab sama-sama punya kepentingan untuk memajukan pariwisata.Â
Kalau lingkungan dan alam kita sehat, baik di wilayah pariwisata dan yang belum masuk menjadi kategori wilayah pariwisata, kita juga yang merasakan manfaatnya. Salah satunya adalah lebih banyak pengunjung yang datang ke wilayah itu karena itu bersih dan sehat. Kalau sebaliknya, lambat laun, tempat itu bisa terbengkalai, malah, bisa terjadi bencana alam yang menimbulkan kerusakan termasuk manusia menjadi kehilangan nyawa.Â
Apa yang Dapat Kita Kerjakan?
Sejauh ini, aku berpikir, kemungkinan besar, para warga yang menjalankan bisnis pariwisata di wilayah itu belum menemukan solusi yang tepat bagaimana mengelola sampah terutama yang non-organik. Bisa jadi, mereka pun memerlukan bantuan bagaimana cara melakukannya.
Sepanjang yang aku tahu, hampir semua pelaku bisnis pariwisata di sana adalah warga dari daerah setempat. Sebagai orang kampung aku bisa mengerti kalau kami perlu bantuan dari pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun swasta bagaimana mengelola wilayah itu agar tetap bersih, asri dan sehat.Â
Kurasa ya, alangkah senang hati para warga yang menjalankan bisnis pariwisata di wilayah itu kalau mereka bisa didukung dan dibantu bagaimana cara mengelola sampah. Mungkin selama ini mereka bisa jadi merasa tak enak, merasa bersalah tapi tidak tahu bagaimana mengatasinya.Â
Dalam situasi ini, di mana pelaku bisnis pariwisata terpaksa membuang sampah mereka ke dalam hutan, kenapa pihak kehutanan diam saja? Apakah ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Sandiaga Salahuddin Uno) dan Kehutanan (Siti Nurbaya Bakar)? Kenapa pula pelaku bisnis pariwisata buang sampah ke hutan? Apakah  Menteri Kehutanan NKRI mengetahui situasi seperti ini?
Pariwisata itu kan berintegrasi dengan Ekonomi Kreatif. Pak Menteri, kalau sudah buang sampah ke dalam hutan, itu kan sama sekali tidak kreatif. Aku sebagai anak remaja yang masih berada di bangku sekolah, sungguh berharap agar warga di sana didukung antara lain, paling tidak mengelola sampah di wilayah pariwisata itu dengan kreatif, sejalan dengan amanah yang dilimpahkan kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H