Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Pendakian Gunung Karmel : Keinginan Melemahkan Jiwa (I-10)

27 Januari 2025   10:09 Diperbarui: 27 Januari 2025   10:24 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hati yang Murni (credit: Ali Karimiboroujeni dari Pexels)

Prolog

Keinginan datang dalam hening, menggerogoti jiwa
Seperti tunas yang tumbuh, merampas energi yang ada
Tak terpangkas, ia lemahkan dan mendinginkan langkah menuju kebajikan
Meninggalkan jiwa yang kering dan suam kuku, kehilangan panas cahaya-Nya

Ranselku telah kukemas. Apakah kamu telah siap melangkah lagi teman pendakianku? Rasanya belum sempurna jika kita belum menyecap secangkir teh hangat, namun sayangnya kita kehabisan pemantik dan korek api untuk menyalakan api. Gerimis semalam membuat semua kayu menjadi lembab sehingga sulit untuk menyalakan bara dengan fire plough. Tapi lihatlah di sana teman pendakianku, mentari mulai naik dan menumpahkan semburat cahayanya. Suryakanta, kaca pembesar yang kita bawa dapat memfokuskan semua semburat mentari menjadi titik api yang membakar. Fokus, pemusatan, sepertinya juga akan menjadi kata kunci rute pendakian kita hari ini. Yuk bergegas !

Panas Jiwa yang Memudar karena fisi Keinginan

Dalam perjalanan hidup, kita sering kali terpecah oleh berbagai keinginan duniawi. Ada keinginan untuk sukses, pengakuan, kenyamanan, hingga hasrat akan hal-hal kecil yang tampaknya sepele. Namun, apakah kita menyadari bagaimana keragaman keinginan ini bisa melemahkan jiwa kita? Santo Yohanes dari Salib, seorang mistikus besar, memberikan pelajaran mendalam tentang pentingnya memusatkan kehendak hanya kepada Tuhan agar jiwa tidak kehilangan kekuatannya.

Ia menjelaskan bahwa keinginan yang tersebar seperti air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah: ia tidak pernah naik. Jiwa yang membiarkan kehendaknya terikat pada berbagai hal duniawi kehilangan fokus, menjadi lemah, dan suam-suam kuku dalam mengejar kebajikan. Analoginya begitu sederhana namun menggugah. Seperti air panas yang mudah kehilangan panas jika dibiarkan terbuka, begitu pula jiwa yang tidak terarah hanya kepada Tuhan akan kehilangan semangat dan kekuatannya.

Patriark Yakub memberikan contoh melalui putranya, Ruben, yang disebutnya seperti "air yang tercurah" (Kejadian 49:4). Karena membiarkan dirinya terjerat dalam dosa dan keinginan yang tidak terkendali, Ruben tidak mampu bertumbuh dalam kebajikan. Pelajaran ini mengingatkan kita bahwa keterpecahan dalam kehendak bukan hanya menghambat pertumbuhan rohani, tetapi juga merampas potensi jiwa untuk mencapai kedalaman kebajikan yang sejati.

Seperti Daud yang berjanji dalam Mazmur, "Aku akan menyimpan kekuatanku hanya untuk-Mu" (Mazmur 59:9), merupakan ajakan untuk memusatkan seluruh kekuatan keinginan kita kepada Tuhan. Dengan demikian, jiwa tidak hanya mampu bertahan dalam kebajikan tetapi juga menemukan kekuatan yang lebih besar untuk bertumbuh dalam kasih dan rahmat.

Mengapa Jiwa perlu Dijaga dari Tunas-Tunas Keinginan yang Menggerogoti

Santo Yohanes dari Salib, memberikan analogi yang menggugah tentang bagaimana keinginan-keinginan duniawi dapat melemahkan kebajikan jiwa. Ia menggambarkan keinginan seperti tunas liar yang tumbuh di sekitar pohon. Tunas-tunas ini mungkin terlihat tidak berbahaya pada awalnya, tetapi perlahan-lahan, mereka menyerap nutrisi yang seharusnya digunakan pohon untuk menghasilkan buah. Akibatnya, pohon itu tidak lagi berbuah seperti seharusnya.

Keinginan-keinginan ini, jika tidak dipangkas, menggerogoti kekuatan jiwa dan mengurangi kemampuannya untuk bertumbuh dalam kebajikan. Yesus sendiri memperingatkan hal ini dalam Injil Matius 29:19: "Celakalah perempuan yang mengandung dan menyusui pada hari-hari itu." Mengandung dan menyusui di sini tidak hanya merujuk pada kondisi fisik, tetapi juga pada jiwa yang terus "memelihara" keinginan-keinginan duniawi. Keinginan-keinginan ini terus berkembang, menghalangi jiwa untuk mencapai potensi spiritualnya.

Lebih lanjut, Yohanes dari Salib mengibaratkan keinginan-keinginan sebagai lintah yang terus-menerus menghisap darah dari pembuluh darah. Dalam Amsal 30:15, keinginan digambarkan seperti anak-anak lintah yang selalu berkata: "Berikan, berikan." Artinya, keinginan tidak pernah merasa cukup; mereka terus menuntut lebih, menciptakan lingkaran tak berujung yang menguras jiwa.

Karena itu, Yesus menasihati kita dalam Lukas 12:35: "Pinggangmu hendaklah tetap berikat." Pinggang yang berikat melambangkan disiplin atas keinginan. Kita diajak untuk memangkas tunas-tunas keinginan yang tidak perlu agar jiwa kita dapat fokus bertumbuh dalam kebajikan dan menghasilkan buah yang melimpah.

Dalam kehidupan modern, kita sering dihadapkan dengan begitu banyak keinginan---ambisi, kesenangan, atau materi. Jika kita tidak berhati-hati, keinginan-keinginan ini dapat membebani jiwa, membuatnya lemah, dan kehilangan arah. Tetapi dengan menjaga disiplin rohani dan memusatkan hati pada kehendak Tuhan, kita dapat memangkas segala yang tidak perlu, sehingga jiwa kita kembali sehat, kuat, dan berbuah lebat dalam kebajikan.

Sebagaimana pohon yang dipangkas untuk menghasilkan buah yang lebih baik, demikian pula jiwa kita memerlukan disiplin dan pengendalian. Dalam kesederhanaan dan fokus pada Tuhan, jiwa akan menemukan kekuatan sejati untuk melampaui segala godaan duniawi.

Keinginan yang Tidak Teratur adalah Musuh Laten Jiwa

Santo Yohanes dari Salib menggambarkan keinginan duniawi sebagai musuh laten yang, jika dibiarkan, dapat menghancurkan jiwa. Ia memberikan analogi yang tajam tentang anak-anak ular berbisa yang tumbuh dalam rahim induknya. Ketika mereka tumbuh, mereka memakan tubuh induknya hingga mati, sementara mereka sendiri tetap hidup dengan mengorbankan nyawa sang induk. Begitulah cara kerja keinginan-keinginan yang tidak dimatikan dalam jiwa manusia.

Keinginan-keinginan ini, meskipun tampak kecil dan tidak berbahaya pada awalnya, lambat laun berkembang menjadi kekuatan destruktif. Mereka mengambil dari jiwa semua yang baik---kekuatan, kebajikan, dan relasi dengan Allah. Jika jiwa tidak segera mematikan keinginan tersebut, maka mereka akan terus bertumbuh, menggerogoti kehidupan rohani, dan pada akhirnya memisahkan jiwa dari Tuhan.

Dalam kebijaksanaan kitab Sirakh 23:6, tertulis doa permohonan: "Jauhkanlah dariku, ya Tuhan, keinginan perut ini." Atau dalam bahasa Latin: "Aufer a me Domine ventris concupiscentias." Doa ini adalah permohonan agar Allah membantu manusia memurnikan dirinya dari nafsu yang berlebihan, keinginan egois, dan segala hal yang menjauhkan jiwa dari kebenaran.

Keinginan-keinginan duniawi adalah jebakan yang sering kali tidak kita sadari. Mereka hadir dalam bentuk ambisi, kerakusan, atau kebutuhan akan pengakuan. Namun, seperti yang diingatkan oleh Santo Yohanes dari Salib, keinginan-keinginan ini tidak pernah memberikan kebaikan bagi jiwa. Sebaliknya, mereka mengambil apa yang jiwa miliki: kedamaian, kemurnian, dan kemampuan untuk mencintai Allah secara penuh.

Untuk itu, mematikan keinginan duniawi adalah langkah penting dalam perjalanan spiritual. Ini bukan berarti kita harus mengabaikan kebutuhan duniawi, tetapi kita dipanggil untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segala keinginan kita. Dengan demikian, jiwa tidak akan dikuasai oleh keinginan-keinginan yang dapat membinasakan, melainkan akan dibebaskan untuk bertumbuh dalam kebajikan dan kasih yang sejati.

Keinginan yang Melemahkan Semangat Jiwa untuk Mencintai Sesama dan Perkara Ilahi

Lebih lanjut, Santo Yohanes dari Salib mengungkapkan bahwa meskipun keinginan-keinginan ini mungkin tidak langsung membunuh jiwa, mereka tetap membawa dampak yang menyedihkan. Jiwa yang dipenuhi keinginan duniawi menjadi tidak bahagia terhadap dirinya sendiri, kehilangan semangat untuk mencintai sesama, dan menjadi letih serta malas dalam perkara-perkara ilahi.

Keinginan duniawi, menurut Santo Yohanes dari Salib, seperti penyakit yang melemahkan tubuh. Seperti seorang yang sakit jasmani merasa lelah untuk berjalan dan kehilangan selera makan, demikian pula jiwa yang terikat pada keinginan makhluk ciptaan kehilangan kekuatan untuk mengejar kebajikan. Jiwa itu merasa lelah dalam perjalanan spiritualnya dan bahkan memandang kebajikan dengan rasa tidak suka, seolah-olah kebajikan adalah sesuatu yang berat dan tidak menarik.

Santo Yohanes dari Salib menekankan bahwa alasan utama banyak jiwa tidak memiliki semangat dan ketekunan dalam mengejar kebajikan adalah karena mereka menyimpan keinginan dan afeksi yang tidak murni. Keinginan-keinginan ini, yang tidak diarahkan kepada Allah, menguras kekuatan jiwa untuk bertumbuh dalam kasih dan kebajikan sejati.

Pada akhirnya, teman pendakianku, hidup di dunia yang penuh distraksi memang tidak mudah, tetapi kisah ini memberikan motivasi mendalam untuk terus mengarahkan hati kepada yang Esa. Karena, dalam kesatuan kehendak kepada Tuhan, jiwa akan mencapai kekuatan yang tak tergoyahkan dan kebahagiaan sejati.

Ah, ada batu nyaman di sana untuk kita duduk merenung sejenak. Perjalanan tadi sungguh menggugah hati. Rasanya kita perlu mengingatkan dan memeriksa batin kita. Apakah keinginan-keinginan kita diarahkan kepada Allah, ataukah terjebak pada hal-hal duniawi? Apakah kita merasa lelah secara rohani karena mengizinkan keinginan-keinginan yang tidak murni mengambil alih hati kita?

Sukacita selalu pendakian hari ini. Dimulai dari suryakanta yang membakar habis kayu kita sehingga kita dapat menyeruput teh hangat pagi tadi dan tentang penyatuan energi dan afeksi hanya pada Tuhan. Rasanya rute ini memang tentang fokus, fusi, pemusatan semua fakultas jiwa. Dimana, Santo Yohanes dari Salib mengajak kita untuk mengarahkan seluruh afeksi dan keinginan kita kepada Allah. Dalam Dia, Sang Sumber Cinta, Kekasih Sejati, jiwa menemukan kekuatan, semangat, dan kebahagiaan sejati. Sebagaimana seorang yang sakit merasa segar kembali ketika tubuhnya dipulihkan, demikian pula jiwa kita akan pulih jika kita meninggalkan keinginan-keinginan duniawi dan memusatkan perhatian pada Allah.

Teman pendakianku, mentari mulai tenggelam. Rasanya aku ingin mengulang ungkapan Daud : Cor mundum crea in me Deus. Berikanlah aku hati yang murni ya Allah. Ya hati yang murni agar bebas dari semua keinginan duniawi yang merintangi semua jalan menuju kepada-Nya sumber segala kebajikan dan kebahagian.

Epilog

Seperti suryakanta yang memfusikan cahaya
Jiwa yang terfokus pada Tuhan, memusatkan kekuatan-Nya
Keinginan yang terpangkas menjadi kaca pembesar
Menangkap kembali sinar-Nya, mengembalikan panas yang hilang dan menyalakan cinta

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun