Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Ketika Ibu yang Dihormati Ternyata Melukai dengan Narsistiknya

13 Januari 2025   15:25 Diperbarui: 13 Januari 2025   15:25 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu dan anak (credit: Kaboompics from pexels)

Beberapa waktu belakangan, dunia maya Indonesia diramaikan dengan kisah perseteruan seorang pesohor tanah air dengan anak perempuannya. Warganet terpecah setidaknya dalam 2 kubu, kubu mendukung sikap sang pesohor karena atributnya sebagai seorang ibu dan kubu sebaliknya yang mengkritik keras bahwa sikap sang pesohor tersebut adalah representasi pribadi dengan Narcissistic Personality Disorder atau NPD. Terkait kubu kedua, tentu kita tak bisa menjustifikasi pribadi sang pesohor sebagai seorang NPD tanpa verifikasi klinis atau diagnosa pakar terkait. Namun menarik untuk melihat kasus ini karena seperti terjadi pembiasan dan dilema kultur ketika harus melihat dari sisi, mungkinkah seorang ibu bersalah dengan memberikan beban dan mengorbankan mental anaknya demi egonya? Ataukah seorang anak, bagaimanapun juga harus tunduk pada drama seorang ibu meskipun ibu tersebut mengidap NPD? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mengulik saya yang juga seorang ibu untuk melihat seperti apa ibu dengan NPD dan apa dampak yang mungkin ditimbulkan serta bagaimana anak menghadapi kondisi ini.

Ibu dengan Narcissistic Personality Disorder

Dalam budaya Timur, ibu adalah simbol pengorbanan, kasih sayang, dan pusat moralitas keluarga. Sebagai anak yang dibesarkan dalam kultur ini, saya pribadi juga melihat ibu sebagai kompas moral, nasihat dan arahan ibu adalah yang terbaik bahkan meskipun ibu salah, saya harus terlebih dahulu mendengarnya dan kemudian baru mendiskusi keberatan- keberatan saya atas arahan atau perintahnya. Namun, seiring dengan pertumbuhan usia saya hingga menjelma menjadi seorang ibu, saya mulai menyadari bahwa kondisi dan pengalaman parenting dengan kultur ketimuran itu tak berlaku untuk semua orang.  Bagi sebagian anak, hubungan dengan ibu bisa menjadi ladang konflik yang mendalam, perang emosional terutama jika ibu yang dimilikinya memiliki gangguan kepribadian seperti NPD yang sering kali membuat seorang ibu mendahulukan ego narsisnya daripada kebutuhan emosional anaknya. 

Membayangkan ibu saya mempermalukan saya di depan umum, rasanya merupakan sesuatu yang mustahil untuk menjadi nyata. Bahkan jika itu terjadi, maka pemikiran saya di masa muda saat itu adalah bahwa pasti karena kesalahan mendasar yang dilakukan anaknya. Sesederhana itu pola yang terbentuk dalam alam pikir saya. Namun kasus-kasus terkenal di dunia seperti kasus Gypsy Rose Blanchard dan Dee Dee Blanchard  serta kasus Joan Crawford dan Christina Crawford (Kasus Hollywood) adalah segelintir contoh akan kenyataan pahit relasi anak dan ibu NPD yang cukup kontroversial.

Pada kenyataannya,di dunia ini banyak pribadi yang bertransformasi menjadi pribadi narsisistik. Di masa sekolah dulu istilah narsis hanya saya kenal dari tokoh mitologi Yunani, Narcisus, yang menjadi simbol keegoisan, kecintaan pada diri sendiri. Istilah narsis berakar pada mitologi i dan menurut Stephanie Freitag, seorang psikolog klinis berlisensi di Westchester Child and Adult Psychological Services, satu-satunya diagnosis medis untuk narsisme adalah Narcissistic Personality Disorder atau NPD.  Ada banyak tipe narsistik namun kita akan lebih melihat seperti apa ibu dengan diagnosa NPD.

Ibu dengan NPD disebutkan tidak hanya kesulitan memahami empati, tetapi juga sering terobsesi menjaga citra dirinya. Dalam upaya mempertahankan ego, mereka bisa membuat drama, mempermalukan, atau bahkan secara tidak langsung "mengorbankan" anaknya demi kepentingan pribadi. Hal ini menjadi luka yang sulit disembuhkan, terutama dalam budaya Timur yang menganggap kritik terhadap ibu sebagai bentuk ketidakpatuhan.

Ibu dengan NPD sering kali melihat anak sebagai perpanjangan dari dirinya, bukan sebagai individu yang terpisah dengan kebutuhan dan perasaan sendiri. Karena itu, mereka kerap menggunakan anak untuk memenuhi ego atau menciptakan citra sempurna di mata masyarakat. Ketika anak gagal memenuhi ekspektasi ini, drama atau penghinaan publik sering kali digunakan sebagai "hukuman" yang terselubung. 

Ibu dengan NPD hanya melihat dirinya sebagai pusat atensi dan tidak mempedulikan hal lain, apapun akan dilakukan demi mendapatkan atensi. Dalam banyak kasus ibu dengan NPD dikatakan bahwa ia mampu membuat drama di hadapan publik yang dengan sengaja diciptakan dan direkayasa untuk mempermalukan anaknya atau menunjukan kepada khayalak umum betapa anaknya kurang berbakti. Persoalannya apa yang diperoleh sang ibu dengan mempermalukan anaknya? Kata kuncinya adalah pusat atensi.  Ibu dengan NPD melakukan hal ini bukan demi kepentingan sang anak, melainkan ingin menunjukkan bahwa ia adalah sosok ibu yang benar dan bijaksana. Dalam kasus lain, ibu dengan NPD dapat menggunakan anaknya untuk menciptakan simpati. Sekali lagi, kata kuncinya adalah persoalan mendapatkan perhatian dan atensi untuk diri si ibu. Dalam beberapa kasus, ibu dengan NPD bahkan bisa berperan sebagai korban untuk mendapatkan perhatian. Mereka mungkin menyebarkan cerita palsu atau berlebihan tentang ketidakberbaktiannya anak, hanya untuk membangun citra diri sebagai ibu yang menderita. Terlihat seperti tidak mungkin, tapi kita harus melihat dari sisi gangguan personality, psikis yang terganggu dan ini adalah persoalan manipulatif yang tidak bisa kita lihat dari kacamata normal.

Ketidakmungkinan Penyembuhan dan Dampaknya

Dalam banyak kasus, ibu dengan NPD sulit disembuhkan, karena sifat dasar gangguan ini sering kali membuat mereka menolak mengakui kesalahan atau menerima bantuan profesional. Dalam beberapa kasus, terapi bisa membantu mengelola gejala, tetapi keinginan untuk berubah harus datang dari dalam diri mereka, yang sering kali jarang terjadi. Jadi tidak heran jika kita melihat ibu dengan NPD selalu dan selalu kembali terlibat dalam drama yang membuat kita menggeleng kepala tak percaya.  Sedihnya, bagi sang anak, harapan untuk "mengubah" ibu sering kali menjadi sumber kelelahan emosional. Ketika ibu terus-menerus memprioritaskan kebutuhannya sendiri dan mengorbankan kesehatan mental anak, luka yang ditinggalkan bisa bertahan seumur hidup.

Bahkan Stephanie Freitag mengatakan bahwa salah satu tipe NPD yaitu malignant narcissism adalah jenis narsisme yang paling berbahaya. Ia mengatakan bahwa  orang dengan jenis narsisme ini cenderung memiliki ciri psikopat dan kecenderungan menjadi sadis atau agresif secara impersonal.  Mereka terlalu mementingkan diri mereka sendiri sehingga mereka sama sekali tidak memedulikan perasaan orang lain. Konselor profesional berlisensi dan ahli traumalogi,  Nakpangi Thomas, memberikan ciri mencolok dari pengidap NPD malignant ini, mulai dari pembohong, manipulatif handal, sangat agresif, sikap kasar bahkan abusif secara fisik dan emosional terlihat dalam perilaku memukul, memaki maupun berteriak serta sangat rendahnya empati atas dampak perbuatannya.

Menghadapi Realitas yang Menyakitkan

Memiliki ibu seorang NPD tentu menyakitkan. Menjauhi dan menyesali rasanya juga akan menyakitkan karena ibu tetaplah ibu. Ino menyebabkan bahwa menghadapi ibu dengan NPD yang tidak bisa berubah memerlukan pendekatan yang penuh kesadaran dan strategi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun