Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

BAPER, Saat Hati Tidak Bisa Diam di Malam Natal

22 Desember 2024   09:18 Diperbarui: 22 Desember 2024   09:28 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebersamaan Natal (credit: Hannah Barata from pexels) 

Pernah dengar kata baper atau bahkan sering menggunakan kata ini? Jika diingat, istilah ini mulai sering digunakan sejak tahun 2014 atau setidaknya tahun 2015-an. Istilah ini muncul dan berkembang melalui media sosial, obrolan sehari-hari, dan konten-konten digital, terutama di kalangan anak muda. Baper adalah semacam perasaan yang muncul tidak sengaja yang bila diteruskan dapat menimbulkan komplikasi berkelanjutan, saya kutip ini dari sebuah meme anonim di sosial media. Ada meme lain menulis baper sebagai suatu perasaan yang sering terjadi pada orang yang sangat sensitif. Singkatnya, istilah "baper" memang punya daya tarik tersendiri. Awalnya, kata ini dipakai untuk menggambarkan seseorang yang terlalu sensitif atau gampang terbawa perasaan—misalnya, terlalu serius menanggapi hal-hal yang sebenarnya cuma bercanda. Bayangin saja, ketika kita sedang berbincang santai tiba-tiba ada yang bawaannyaseperti mau berdebat serius. Gampang tersinggung, mudah terharu, atau mendadak mellow karena hal kecil; itulah ciri-ciri baper. Kalau anda masih sulit membayangkan juga, ingat saja momen ketika anda mudah nangis pada saat melihat orang yang sedang bernapas karena akan mengingatkan anda pada mantan yang juga sedang bernapas #eh

Baper adalah semacam perasaan yang muncul tidak sengaja yang bila diteruskan dapat menimbulkan komplikasi berkelanjutan

Tidak cuma "baper", ada juga istilah saudaranya, yaitu "sensi". Kalau sudah mendengan mendengar seseorang mengatakan, "Duh, baper amat sih lo",  atau "Yee, mulai sensi nih",  fix deh, anda pasti tahu suasana jadi awkward seketika. Tetapi ya begitulah, kedua kata kadang  membuat obrolan kita menjadi lebih ekspresif dan, kadang, malah menjadi seru dan menyenangkan.

Namun, bagi saya istilah baper ini juga bisa menjadi sesuatu yang lain. Nilai rasa dan kedalaman maknanya telah berkembang. Bagi saya para penulis, sastrawan, pelukis mungkin juga fotografer adalah orang yang mudah "baper" dengan caranya. Mereka mengungkap perasaan lewat goresan pena, melukis dengan kuas dan cat acrylic serta melukis dengan cahaya karena hati mereka tak bisa diam. Mereka begitu sensitif dan larut dalam momen ke-baper-annya. Hasil dari ke-baper-an sastrawan, penulis, pelukis dan fotografer seringnya membuat orang lain yang menikmati karya mereka pun menjadi baper #lho

Teringat beberapa tahun lalu, dalam masa pandemi COVID-19, di malam Natal. Baper saya datang tanpa diundang, bukan karena mantan yang tiba-tiba muncul di timeline media sosial, apalagi pesan WhatsApp yang centang biru tapi tak pernah dibalas. Bukan pula soal pesanan kue Natal yang belum dikonfirmasi oleh baker langganan, padahal hari H sudah semakin dekat. Bahkan, ini juga bukan tentang uang hari raya dari suami yang jumlahnya bikin senyum tipis di bibir atau saldo rekening yang menipis,  dan juga bukan karena PPN yang akan naik. Bukan itu ! Baper saya malam itu melampaui semua genre ke-baper-an yang ada di jagad ke-baper-an. Ini adalah ke-baper-an epik, yang bisa membuat soundtrack Adele atau Glenn Fredly terasa kurang mendalam, kurang mendayu. Ini tentang sesuatu yang lebih besar, lebih kompleks, dan lebih... baperable.  #wow 

Ya,malam itu saya memang diliputi kebaperan, tapi bukan yang biasa. Kebaperan saya bermula dari kisah seorang balita perempuan. Tanpa sengaja, ia memegang botol cairan pemutih, mengira itu minuman, dan sempat mengecap isinya. Tengah malam, balita ini dilarikan ke rumah sakit oleh ayahnya. Situasinya kacau: tidak ada ibunda di sampingnya, hanya sang ayah yang berusaha tenang, mendiamkan balita perempuan itu yang menangis penuh kebingungan.

Sebuah adegan sederhana, mungkin. Tapi di tengah hiruk pikuk malam itu, tentulah ada sesuatu yang mengusik hati. Balita perempuan itu, dalam ketakutan dan sakitnya, tak hanya membutuhkan penanganan medis, tapi juga pelukan hangat yang menenangkan. Ayahnya, dalam ketenangannya yang terkesan kaku, mungkin juga sedang bergulat dengan rasa bersalah, panik, atau bahkan bingung harus berbuat apa. Dan di sinilah baper saya bermula. Mungkin kalian bertanya, "Apa hubungannya dengan baper?" 

Baiklah, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, baper saya kali ini bukan baper biasa. Rasa keibuan saya yang membuncah ingin sekali membantu mendiamkan balita perempuan itu, yang tangisannya pilu memecah malam, tapi semua itu terhalang oleh protokol kesehatan. Situasi pandemi memang rumit. Mau mendekat, ada risiko. Mau diam, hati terasa sesak dan tak tenteram. Serumit itu, gundah gulana, tak tenang, tak bisa diam hati ini. Akhirnya, saya hanya bisa menatapnya dari kejauhan, berusaha menenangkan diri dengan membuka lagu lullaby di YouTube, berharap ia bisa terhibur dan tangisnya mereda. #hiks

Waktu berjalan perlahan. Tangisannya masih terdengar, makin keras saat infusnya tak sengaja terlepas. Namun, seiring lagu lullaby yang terus mengalun, perlahan ratapannya berubah menjadi isak kecil, hingga akhirnya ia tertidur. Saya pun terdiam, merasa lega sekaligus haru biru tanpa kata. Tapi, ya, begitulah saya, baper lagi,apalagi mendadak lagu White Christmas yang mengalun dari ponsel saya (baper lagi kan ?).

Natal tahun itu memang datang dengan cara yang berbeda. Biasanya saya sibuk dengan kue-kue, pernak-pernik, dan persiapan lainnya, tapi kali ini situasinya mengajarkan hal baru. Betapa pentingnya memperhatikan orang-orang terkasih, bahkan dalam momen kecil yang sering kita anggap sepele. Insiden kecil, seperti balita yang menelan cairan pemutih atau bahkan gigitan nyamuk cilik, bisa mengubah segalanya dalam sekejap yang mengakibatkan saya terdampar di ruang UGD itu.  Anak lelaki saya, digigit nyamuk. Awalnya hanya gatal biasa, tapi siapa sangka itu adalah awal dari malam-malam panjang di rumah sakit. Gigitan kecil itu berubah menjadi demam tinggi dan serangkaian pemeriksaan medis yang menguras energi dan emosi. Selama bermalam di rumah sakit, yang bisa kulakukan hanyalah menenangkan putra saya, berharap ia cepat pulih, dan merindukan momen Natal di rumah bersama keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun