Mohon tunggu...
Paul Sugar
Paul Sugar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar Hidup Bermutu dari Aristoteles

12 Maret 2010   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:28 2406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(resensi buku)

Judul Buku      : Menjadi Manusia, belajar dari Aristoteles

Penulis            : Franz Magnis-Suseno

Penerbit           : Kanisius, Yogyakarta

Tahun Terbit    : 2009

Tebal               : XI+68 halaman

Harga              : Rp.15.000,-.

        Menjadi manusia utuh, disadari atau tidak, menjadi cita-cita kita, manusia. Aristoteles, disamping Plato, filosof Yunani terbesar, menawarkan itu: Jalan untuk menjadi utuh. Barangkali kita ragu apakah seorang pemikir yang hidup 2300 tahun lalu masih dapat menunjukkan suatu jalan bagi kita, manusia abad ke-21. Tetapi Aristoteles, bersama Plato, sampai hari ini menjadi acuan pemikiran para filosof. Pernah, selama seribu tahun, Aristoteles agak dilupakan. Yang menemukannya kembali adalah para filosof Islam, terutama Ibn Rushd (1126-1198), sang bijak dari Cordova. Dari Ibn Rushd, Aristoteles diperkenalkan ke Eropa abad pertengahan dimana Thomas Aquinas (1225-1274) menjadikannya dasar system filosofisnya. Sejak itu Aristoteles dikenal sebagai "sang filosof". Dan Romo Franz Magnis-Suseno, penulis buku ini, yakin bahwa etika Aristoteles di jaman sekarangpun masih sangat bermanfaat bagi kita.

        Aristoteles adalah filosof Yunani pertama yang menulis sebuah "etika". Tulisan dengan tujuan agar manusia belajar untuk hidup secara bijaksana. Gagasan dasar Aristoteles adalah bahwa manusia hidup dengan bijaksana semakin ia mengembangkan diri secara utuh. Menunjuk jalan bagaimana manusia dapat menjadi utuh itulah maksud Aristoteles. Aristoteles menulis etikanya agar mereka yang membacanya dapat membangun suatu kehidupan yang bermakna dan bahagia. Dan itu dicapai dengan memperlihatkan bagaimana manusia dapat mengembangkan diri, dapat membuat potensi-potensinya menjadi nyata, dan bagaimana karena itu ia menjadi pribadi yang kuat. Menjadi pribadi yang kuat berarti berhasil dalam kehidupan sebagai manusia. Itulah yang membuat kita bahagia dan itulah yang mau ditunjukkan oleh Aristoteles.

 

        Menurut Aristoteles, setiap tindakan manusia pasti memiliki tujuan, sebuah nilai. Ada dua macam tujuan: tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk tujuan lebih lanjut. Tujuan akhir adalah tujuan yang tidak kita cari demi tujuan lebih lanjut, melainkan demi dirinya sendiri, tujuan yang kalau tercapai, mestinya tidak ada lagi yang masih diminati selebihnya. Jawaban yang diberikan Aristoteles untuk tujuan akhir ini menjadi sangat berarti dalam sejarah etika selanjutnya, yaitu: Kebahagiaan! Kalau seseorang sudah bahagia, tidak ada yang masih dinginkan selebihnya. Maka pertanyaan kunci adalah: Hidup macam apa yang menghasilkan kebahagiaan?

 

        Dua pengertian paling penting adalah bahwa hidup secara moral membuat manusia bahagia, dan bahwa kebahagiaan tidak diperoleh dengan malas-malas hanya ingin menikmati segala hal enak, melainkan dengan secara aktif mengembangkan diri dalam dimensi yang hakiki bagi manusia. Adalah jasa Aristoteles bahwa ia memperlihatkan bahwa hidup yang bermakna itu justru membuat bahagia.

 

        Aristoteles juga memperlihatkan kearah mana kita harus berusaha. Arah itu adalah kemanusiaan kita, pewujudnyataan ciri-ciri yang khas bagi manusia. Ciri yang pertama adalah logos, roh, bagian ilahi dalam manusia, dimensi doa, dimensi dimana manusia boleh berkomunikasi dengan Allah. Dimensi kedua adalah masyarakat. Aristoteles begitu menekankan ciri sosial manusia. Manusia adalah zoon politikon, mahluk bermasyarakat. Manusia tidak mungkin mencapai kepuasan sendirian. Ia menjadi diri dalam kebersamaan dengan manusia lain, dimana ia baik menerima maupun memberikan. Hanya dengan melibatkan diri dengan masyarakat-keluarga, kampung, dan komunitas politik- manusia menjadi diri sendiri. Dalam memberi dan menerima, dalam membangun kehidupan bersama itulah jalan ke kebahagiaan.

 

        Salah satu unsur utama ajaran Aristoteles adalah tekanan pada keutamaan. Watak moral seseorang ditentukan oleh keutamaan yang dimilikinya. Memiliki keutamaan berarti mantap dengan dirinya sendiri karena ia mantap dalam memilih apa yang betul-betul bernilai daripada apa yang sekedar merangsang. Dan keutamaan dapat kita usahakan. Dengan tegas bertindak menurut apa yang kita sadari benar, kita menjadi semakin mampu untuk bertindak demikian, kita semakin gampang bertindak etis; dan bertindak etis memberi rasa kuat dan bahagia.

 

        Wujud etika Aristoteles menjadi jelas dalam Etika Nikomacheia yang membahas persahabatan. Disini Aristoteles memberi pesan yang menentukan: Manusia tidak berkembang dengan memusatkan perhatiannya pada dirinya sendiri, melainkan dengan membuka diri terhadap orang lain. Manusia tidak mencapai kebahagiaan dan keluhurannya dengan mau memiliki sesuatu, melainkan dengan mengerahkan diri pada usaha bersama: bagi sahabat, desa, dan masyarakatnya. Adalah lebih luhur mati bagi sahabat dari pada hidup, tetapi meninggalkannya. Aristoteles mendekati kebijakan yang ada baik pada Yesus maupun pada etika Jawa. Yesus mengatakan bahwa siapa kehilangan nyawanya demi yang paling luhur, akan memperolehnya, dan pepatah Jawa mengatakan bahwa mati ditengah kehidupan menghasilkan hidup ditengah kematian.

        Buku kecil yang relatif murah, tipis, tapi mewah ini ditulis dengan dua maksud. Pertama, memperkenalkan pemikiran Aristoteles, khususnya dalam bidang moralitas dalam bahasa yang mudah dimengerti. Kedua, penulis yakin bahwa etika Aristoteles di zaman sekarang pun amat bermanfaat bagi kita dalam membangun suatu kehidupan yang bermakna dan bahagia. Karena itu, tidak heran bahwa 300 tahun sesudah wafat nabi Muhammad, filosof Islam menggali kembali Aristoteles, pemikir dari zaman prawahyu yang hidup 1300 tahun sebelum mereka, sebagai filosof paling besar. Para filosof Islam merasa harus mempergunakan pemikiran Aristoteles untuk merumuskan refleksi filosofis mereka sendiri. Dari Aristoteles manusia abad ke-21 pun dapat belajar bahwa kita masing-masing dapat membangun diri menjadi manusia utama, dan bahwa itu kita lakukan dengan melibatkan diri dalam komunitas dan masyarakat, kita dapat belajar menjadikan hidup kita menjadi hidup yang bermutu.

baca juga :

Seputar "kasus" Galileo :

 http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/13/seputar-%e2%80%9ckasus%e2%80%9d-galileo-galilei/

 

Seputar teori Darwin :

http://filsafat.kompasiana.com/2010/02/25/bahasa-sains-dan-agama/

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun