Harmoni dalam Keberagaman
Aku tinggal di sebuah kampung yang sederhana dengan sungai kecil yang mengalir jernih. Di kampung ini, penduduk berasal dari berbagai latar belakang suku, agama dan bahasa. Setiap keluarga punya tradisi dan cara hidup yang berbeda, tetapi kami semua hidup berdampingan, seperti sebuah keluarga besar yang penuh warna.
Setiap pagi, suasana di kampung selalu riuh dengan suara orang-orang yang menyapa satu sama lain. Tetangga sebelahku, Pak Budi, seorang petani padi yang sudah lama tinggal di sini, sering bertegur sapa sambil tersenyum ramah. Di rumah seberang, ada Bu Marni, wanita dari Sulawesi yang dikenal pandai membuat masakan tradisional Bugis. Bu Marni sering berbagi kue buatannya saat ada acara-acara kecil di kampung.
Suatu hari, ketua kampung, Pak Eko, mengumumkan bahwa akan diadakan acara gotong royong besar-besaran untuk membersihkan lingkungan dan memperbaiki jalan kampung yang mulai rusak. Tentu saja, semua penduduk antusias menyambut acara ini, karena gotong royong adalah saat di mana kami bisa saling berbagi, bekerja bersama-sama, dan mempererat hubungan satu sama lain.
Ketika hari gotong royong tiba, aku bersama warga lainnya sudah siap dengan peralatan masing-masing. Ada yang membawa cangkul, sapu, dan bahkan alat-alat kecil untuk memperbaiki jalan. Aku melihat bagaimana semua orang, dari anak-anak hingga orang tua, ikut serta tanpa memandang suku atau agama. Kami bekerja bahu-membahu, saling membantu dan bercanda sepanjang hari.
Di tengah-tengah kegiatan, aku mulai kelelahan, dan begitu juga yang lain. Saat itulah Bu Marni datang membawa nampan besar berisi kue-kue khas Bugis, seperti onde-onde dan putu cangkiri. Dia membagikan kue-kue itu kepada semua orang dengan senyum lebar, tak peduli siapa yang ia layani. Rasa manis dan lezatnya kue itu membuat semangat kembali muncul.
Lalu, Pak Ucok, seorang Batak yang baru saja pindah ke kampung kami beberapa tahun lalu, mengambil gitar dan mulai memainkan lagu-lagu Batak yang ceria. Kami semua ikut bernyanyi dan menari, seolah lupa pada lelah yang terasa. Bahkan Pak Budi yang pendiam pun ikut tertawa bersama kami. Suasana saat itu terasa begitu hangat, penuh tawa, dan rasa kebersamaan.
Ketika hari mulai sore, jalan kampung yang tadinya rusak sudah tampak rapi dan bersih. Kegiatan gotong royong berakhir, tapi kehangatan dan kebersamaan yang terasa di hati kami tetap tersisa. Aku merasa bangga dan bersyukur bisa tinggal di kampung ini, di mana perbedaan kami adalah sesuatu yang memperkaya, bukan memisahkan.
Sejak hari itu, aku sadar bahwa kebersamaan dalam keragaman adalah kekuatan yang nyata. Walaupun kami berbeda, kami memiliki satu tujuan yang sama: menjadikan kampung ini tempat yang nyaman dan damai untuk semua. Aku belajar bahwa keragaman tidak harus menjadi penghalang, melainkan sumber kekuatan yang bisa membuat kami saling melengkapi.
Kampung kecil kami mungkin tak sebesar kota, tapi kami memiliki sesuatu yang lebih berharga persaudaraan yang tulus, yang membuat perbedaan menjadi indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H