Mohon tunggu...
Humaniora

Kurikulum Indonesia: Sesuaikah dengan Kebutuhan Siswa?

15 Maret 2016   19:07 Diperbarui: 13 April 2016   16:47 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kurikulum Indonesia sejak zaman kemerdekaan telah mengalami berbagai perkembangan dan disertai dengan perubahan-perubahan baik struktur dan isi. Materi pelajaran yang tadinya hanya sedikit, kemudian dipecah hingga berbagai cabang pelajaran. Tentu perkembangan dan perubahan ini memperhitungkan untung dan meminimalisir rugi. Belakangan ini, terdapat beberapa siswa yang merasakan tekanan pelajaran dari kurikulum yang saat ini berlangsung. Kurikulum saat ini beragam karena ketidaksiapan pelaksanaan Kurtilas (Kurikulum 2013) pada akhir 2014 sehingga ada sekolah yang tetap menggunakan ada juga sekolah yang kembali ke KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Sebenarnya, kurikulum apapun yang dilaksanakan di Indonesia tidak akan mengurangi beban maupun tekanan baik siswa dan guru. Mengapa demikian?

Siswa Tidak Diikutsertakan Dalam Pembuatan Kurikulum
Tentunya, siswa memiliki harapan tersendiri mengenai kurikulum yang diinginkan seperti apa. Harapan ini akan menjadi semangat belajar siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum. Seperti yang diutarakan oleh August, siswa kelas X, “Kurikulum itu satuan materi dari pelajaran-pelajaran yang sudah ditetapkan pihak tertentu (Kemendikbud), yang akan diajarkan guru dan akan dipelajari oleh siswa. Nah, kan terdapat tiga pihak yakni Kemendikbud, guru, dan siswa jadi dalam pembentukan itu seharusnya semua pihak dilibatkan.” Sedangkan, seorang guru sekolah swasta, Zita Wigandari pun mengutarakan hal yang sama, “Kurikulum sebagai kumpulan bahan materi yang akan diberikan kepada peserta didik dalam periode waktu tertentu. Dalam penyusunan pun harusnya peserta didik dilibatkan karena yang tahu kebutuhannya itu siswa bukan pihak tertentu.” Jelas sekali, apabila banyak siswa harus tinggal kelas atau keberatan dengan kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Kurikulum yang berubah-rubah merupakan indikasi bahwa kebutuhan siswa belum sesuai sehingga diperlukan penyesuaian. “Kurikulum itu kan dibuat oleh pihak tertentu yang berkompeten dibidangnya dan beberapa sekolah.” ujar Zita. Jika proses pembuatan kurikulum terus seperti itu, jelas tidak akan pernah sesuai dengan kebutuhan siswa. Agar segera sesuai, sebaiknya beberapa siswa dari beberapa sekolah dalam satu kelurahan dilibatkan dalam menyusun daftar kebutuhannya dalam kurikulum. Kemudian, daftar tersebut diteruskan hingga kecamatan dan akhirnya nasional. Terbentuklah kesimpulan untuk dimulai penyusunan oleh pihak yang berkompeten.

Belum Ada Kurikulum di Indonesia yang Mengasah Minat dan Bakat Siswa.
“Kurikulum di Indonesia semakin lama semakin padat dengan materi dibandingkan saat saya sekolah, dan tidak semua materi dibutuhkan oleh siswa.” ujar Zita. Hal ini pun dirasakan oleh August, “Minat dan bakat saya kurang dikembangkan dengan kurikulum saat ini, karena penuh dengan materi, dan tidak semua materi itu dibutuhkan oleh saya.” Deddy Corbuzier, seorang magician, pernah mengutarakan hal ini, “Kurikulum yang baik itu mengembangkan minat dan bakat siswa bukan menambah beban siswa. Jika siswa mendapatkan nilai jelek di suatu pelajaran, bukan pelajaran yang nilainya jelek diperbanyak belajarnya melainkan mata pelajaran yang lain memang disuka. Di luar negeri pun demikian.” Memang yang menjadi kebutuhan siswa adalah minat dan bakatnya, bukan materi banyak yang semakin tinggi tingkatnya semakin tidak jelas. Minat dan bakat inilah yang menjadi cita-cita sekaligus harapan siswa. Dengan memaksimalkan minat dan bakat yang sangat disukainya di sekolah, maka akan lahir generasi bangsa yang unggul dengan menguasai minat serta bakatnya dan tidak melampiaskan tekanan dan beban itu pada cara yang salah seperti merokok, tawuran, dan lain sebagainya. Kenakalan remaja ini bisa jadi disebabkan oleh tekanan disekolahnya dengan materi yang banyak, sedangkan siswa tidak sanggup untuk mempelajari seluruh materi. Terkadang terasa tidak adil apabila guru menguasai satu pelajaran, sedangkan siswa banyak pelajaran.

Besar harapan para siswa apabila kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan yang ia inginkan. Memang, proses pembuatan kurikulum yang baik seharusnya dari siswa, untuk siswa, dan oleh siswa sehingga terciptanya generasi bangsa yang unggul, berkompeten, dan menguasai bidang yang diminatinya. Jangan sampai, dana kurikulum yang digunakan untuk membangun generasi bangsa disalahgunakan oleh koruptor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun